Jumat, 15 Juni 2012

WIHARA NAN HAI KWAN IM PU SA
PANTAI LOJI, SUKABUMI – JAWA BARAT



Nama wihara ini lebih dikenal sebagai Wihara Loji di komunitas keturunan Cina, baik yang beragama Buddha maupun non-Buddha.  Letaknya terpencil di Desa Kertajaya, Kecamatan Simpenan, Sukabumi sekitar  10 km dari pusat kota Pelabuhan Ratu. Wihara seluas 5 hektar ini berada di atas bukit dan dari situ kita bisa memandang lepas Pantai Loji dan Pelabuhan Ratu di kejauhan.
Menurut cerita penduduk, pendiriannya didasarkan pada mimpi seorang wanita Buddha asal Thailand. Pengaruh Buddhisme Thailand memang terasa kuat di wihara ini namun mereka tetap menghormati kepercayaan penduduk lokal. Di kompleks wihara yang dibangun sekitar 8 tahun lalu itu terdapat ruang khusus persembahan bagi Dewi Kwan Im, Nyai Roro Kidul, Semar, dan Prabu Siliwangi.






Menurut kepercayaan Buddha, Dewi Kwan Im (Pu Sa) merupakan perwujudan dari Buddha Avalokitesvara yang melambangkan welas-asih dan penyayang yang bersedia mengabulkan permohonan tulus dari umatnya. Dalam sejarah awalnya di Cina pada masa Dinasti Han, Buddha Avalokitesvara bersosok pria. Namun karena pengaruh ajaran Tao dan Kong Ho Cu, menjelang era Dinasti Tang, profil Avalokitesvara berubah dan ditampilkan dalam sosok wanita. Penganut Taoisme sebelumnya memang memuja Dewi Tao (Dewi Wang Mu Niang Niang).
Wihara ini tidak hanya dikunjungi oleh umat Buddha, tapi juga non-Buddha. Bahkan beberapa di antaranya adalah muslim. Pengunjung dapat menginap di wihara ini dengan menyewa villa yang harga sewanya berkisar antara Rp250.000-Rp300.000. Bila kehabisan tempat, pengunjung bisa menginap di ruang aula atau kantin secara cuma-cuma. Mereka menyediakan tikar dan makanan secara gratis 3 kali sehari.  Namun jangan harap bisa makan daging, karena aliran Buddhisme di wihara ini berpantang daging alias vegetarian.






Seperti wihara pada umumnya, Wihara Nan Hai juga memiliki simbol naga yang melambangkan energi (Chi) dan permulaan yang baru. 2 patung naga berkepala 7 akan menyambut pengunjung di pintu masuk, yang merupakan titik awal dari sekitar 300 anak tangga untuk mencapai puncak wihara. Di sana terdapat altar persembahan untuk Dewi Kwan Im (Pu Sa) yang didampingi oleh para dewa (Dewa Langit dan Dewa Kegembiraan) dan juga Nyai Roro Kidul!!!. Letaknya terbuka menghadap Samudera Indonesia. Pemandangannya indah sekali terutama pada saat matahari terbenam.
Untuk mencapai wihara ini, kita harus melewati perjalanan panjang dengan rute Jakarta-Ciawi-Sukabumi-Pelabuhan Ratu selama kurang lebih 6-7 jam. Belum lagi lokasinya yang sangat terpencil harus melewati jalan berliku-liku. Begitu tiba di wihara itu, masih ada 300 anak tangga yang harus dinaiki. Semua kesulitan itu seakan menunjukkan betapa berat perjalanan (hidup) kita untuk mencapai nirwana…..


 
 



Kuil Xuan Kong terletak di bawah kaki gunung di atas tebing terjal dan curam di Puncak Sekatan Hijau pada kedua sisi ngarai Jin Long. Gunung di sini tinggi dan terjal, kedua sisinya tegak lurus ratusan meter, tebingnya yang terjal dan curam seperti belahan kapak dan irisan pisau, hanya saja bagian tengahnya agak cekung.

Kuil Xuan Kong telah memanfaatkan satu-satunya tempat berpijak kemudian membangunnya di tengah-tengah tebing tinggi dan terjal, itu juga dapat dikatakan dibangun di atas tebing yang sangat curam. Kuil Xuan Kong membangun kuilnya menggantung di tengah awang-awang, ini pasti sangat mempunyai arti yang mendalam.
Di tahun yang ke-23 Dinasti Tang (tahun 735), di mana setelah penyair Agung Li Bai berwisata menikmati keindahan Kuil Xuan Kong, telah menulis dua kata "Zhuang Guan" (pemandangan yang megah) di atas batu tebing. Kuil Xuan Kong dengan konstruksi yang mendebarkan hati serta bentuknya yang sangat unik, maka dinobatkan sebagai juara dari 18 pemandangan di Gunung Heng.

Struktur Kuil Xuan Kong sangat halus dan indah, seluruh kuil ditopang oleh kayu yang tegak dan mendatar. Semua belandar yang dijadikan sebagai balok penyangga ini disebut: pikulan pipih besi, dengan menggunakan hasil setempat yang khas yaitu sejenis pohon yang mirip cemara, lalu diolah menjadi balok segi empat, kemudian ditancapkan dalam-dalam ke batu karang yang keras. Dan katanya, kayu belandar telah direndam dengan minyak kayu Tung yang memiliki fungsi antilapuk.
Lagi pula setiap batang kayu yang tegak itu jasanya juga tidak dapat dipungkiri. Semua penempatan kayu ini telah melalui perhitungan yang sangat cermat, untuk memastikan supaya bisa menyangga seluruh konstruksi Kuil Xuan Kong.

Konon katanya, ada tiang kayu yang berfungsi sebagai penahan beban, ada yang digunakan untuk keseimbangan tinggi rendahnya kamar loteng, ada yang harus ditambah beban tertentu di atasnya baru bisa mengembangkan efek penyangganya, jika kosong tidak ditambah beban apa pun, maka dia tidak dapat meminjam kekuatannya untuk menyangga.
Prinsip yang unik ini sangat sulit dibanyangkan oleh teori ilmu pengetahuan modern. Maka jika dipandang dari kejauhan orang-orang menamakan Kuil Xuan Kong sebagai: Tiga utas ekor kuda yang bergantungan di awang-awang.
Konon katanya Kuil Xuan Kong dibangun oleh seorang biksu yang bernama Liao Ran pada masa Dinasti Wei Utara (tahun 386-534), dan hingga sekarang telah lebih dari 1.400 tahun. Meskipun telah direnovasi dan bahkan kerap diguncang gempa bumi, namun seluruh strukturnya tetap baik, tidak mengalami kerusakan. Ini dapat dikatakan sebagai keajaiban dalam sejarah bangunan.

Namun yang lebih membuat orang merenungkannya adalah bangunan Kuil Xuan Kong sama sekali tidak dibangun menurut desain sebagaimana lazimnya. Bagi orang yang menempati Kuil Xuan Kong juga ada syaratnya, dan syaratnya ini adalah alamiah, bukan dibuat oleh manusia.
Sebab orang yang penakut sama sekali tidak berani tinggal di tempat awang-awang. Kuil Xuan Kong memiliki balairung kamar loteng lebih dari 40 ruangan. Bagian atas dan bawah dihubungkan dengan tangga spiral, jika berjalan di atas tangga kayu, maka orang depan sepertinya menginjak di atas kepala orang di belakang.
Antara paviliun pusat dan paviliun samping ada jalan papan, begitu diinjak bergetaran dan menimbulkan suara krek, melalui celah papan masih bisa terlihat ratusan meter jurang yang dalam, membuat orang terkejut dan takut. Namun bagi biksu yang bersih hati dan pikirannya, mereka tidak akan merasa takut. Jika dilihat dari pemikiran orang sekarang, karena sekarang segala-galanya bersandar pada teori pembuktian secara ilmiah, maka bagaimana berani tinggal di atas sana?
Namun bagi biksu, karena dia percaya pada Buddha: "Ada Buddha yang melindungi", dan "kehidupan sudah ditakdirkan" dan pemikiran-pemikiran lainnya, maka dia tidak akan memandang hidup dan mati itu dengan begitu berat, orang-orang yang tinggal di kuil tersebut merasa "ada Buddha sehingga hatinya menjadi tenang". Semua ini dengan jelas memperlihatkan konsep pemikiran yang berbeda. Yang lebih membuat orang merasa takjub seharusnya adalah konsepsi desain dan pemilihan lokasi.
"Membangun kuil di atas tebing", usulan ini, jika dicetuskan sekarang, maka kemungkinan besar akan ditolak oleh ilmuwan modern. Lalu apakah dasarnya? Teori ilmiah modern berpendapat bahwa diterpa angin dan dijemur matahari, atau perubahan lingkungan alam, fisik gunung mungkin akan mengelupas, pelapukan, tanah longsor dan adanya krisis lainnya. Sebenarnya, jika ilmuwan menggunakan teori modern mungkin sama sekali tidak mempunyai pemikiran seperti ini.

Namun Biksu Liao Ran telah muncul ide tersebut, mengapa dia berani berpikiran seperti ini? Dia adalah seorang yang Xiulian (berkultivasi dan latihan), dia tahu adanya prinsip sejati alam, dia memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi terhadap alam raya.
Dia mungkin berpikir: "Buddha bisa melindungi orang yang percaya Buddha", "Gunung ada Dewa Gunung yang mengurusnya" dll. Maka dia sama sekali tidak menganggap fisik gunung ada sesuatu bahaya, meskipun ada bahaya juga bisa menghindar, "mengubah kemalangan menjadi kemujuran, menjumpai kesulitan menjadi keberuntungan!"
Sebenarnya, Kuil Xuan Kong telah membuktikan bahwa biksu dan orang-orang yang Xiulian ini mempunyai keyakinan yang lurus akan Buddha. Jika tidak ada keyakinan yang lurus terhadap hukum Buddha, pada dasarnya dapat dikatakan tidak mungkin membangun kuil di atas tebing tinggi yang terjal dan curam.

Biksu Liao Ran pada masa Dinasti Wei Utara justru adalah saat yang tepat di mana ajaran Buddha bisa berkembang luas di China, orang-orang pada waktu itu juga dipastikan tidak akan bisa mendapatkan pelajaran ilmu pengetahuan modern, latar belakang sejarah ini tidak boleh diabaikan.
Maka dilihat dari sudut ini, orang yang Xiulian hukum Buddha juga merupakan orang yang menguasai benar ilmu pengetahuan yang sesungguhnya, hukum Buddha juga merupakan ilmu pengetahuan yang sesungguhnya, tentunya dengan hasrat yang tulus.
"Kuil yang bergantung" ini pasti akan sama seperti lampu merkuri menerangi sanubari semua orang, memberi dorongan kepada orang-orang menyelidiki dunia yang masih belum diketahui.





SYAIR-SYAIR KEMBAR (Bagian pertama Dhammapada)


(1).
Seperti perbuatan (buruk)  didahului oleh pikiran, dipimpin oleh pikiran, dan dihasilkan oleh pikiran. Bila seseorang bicara atau berbuat dengan pikiran tidak suci, penderitaan pun akan mengikuti, seperti roda pedati mengikuti jejak lembu yang menariknya.

(2).
Segala perbuatan (baik) didahului oleh pikiran, dipimpin oleh pikiran dan dihasilkan oleh pikiran. Bila seseorang bicara atau berbuat dengan pikiran suci, kebahagiaan pun akan mengikuti, seperti bayang-bayang tak pernah meninggalkan dirinya.

(3).
"Ia menghinaku, ia memukulku, ia mengalahkanku, ia merampas milikku,"  kebencian dalam diri mereka yang diracuni pikiran-pikiran seperti itu, tak akan pernah berakhir.

(4).
"Ia menghinaku, ia memukulku, ia mengalahkanku, ia merampas milikku," kebencian dalam diri mereka yang telah bebas dari pikiran-pikiran seperti itu, akan segera berakhir.

(5).
Di dunia ini, kebencian tak dapat dipadamkan melalui kebencian, kebencian hanya dapat  dipadamkan melalui cinta kasih. Inilah hukum yang berlaku sepanjang masa*
*) Hukum abadi yang telah dipahami dan dijalankan buddha.

(6).
Banyak orang tidak sadar bahwa permusuhan berujung kebinasaan, mereka yang telah sadar akan segera mengakhiri permusuhan.

(7).
Orang yang hidupnya selalu mencari kesenangan*, indra-indranya yang tak terkendali, makan berlebih-lebihan, malas, dan lemah hati, orang itu seperti terjerat oleh mara**, bagaikan angin menumbangkan pohon yang lapuk.
*)   Menyukai sentuhan sensual yang memberi kenikmatan.
**)  disini 'mara' berarti nafsu.

(8).
Mara* tak berdaya menjerat orang yang pikirannya tidak terikat oleh kesenangan-kesenangan, indra-indranya terkendali, makannya sederhana, penuh keyakinan** dan tekun merenungkan "ketidakmurnian" ***, seperti angin tidak mampu menggoyahkan sebuah gunung.
*).      Disini 'mara' artinya nafsu.
**).   Keyakinan pada Buddha (Guru), Dhamma (Ajaran), dan Sangha (Persamuhan), yang berlandaskan pengertian,. Tidak ada kepercayaan membuta dalam Buddhisme, seseorang tidak dianjurkan untuk menerima sesuatu hana berdasarkan kepercayaan semata.
***)    Perenungan ini antara lain mengambil obyek 'ketigapuluh-dua bagian tubuh'.

(9).
Orang yang belum terbebas dari noda, yang tak mampu mengendalikan diri, dan tak mengerti kebenaran, tidak layak mengenakan jubah kuning.

(10).
Sesungguhnya ia yang telah membuang segala noda, berkelakuan baik, memiliki pengendalian diri dan ketulusan, dialah orang yang layak mengenakan jubah kuning.

(11).
Mereka yang menganggap ketidakbeneran sebagai kebenaran, dan menganggap kebenaran* sebagai ketidakbeneran, mereka yang terus terombang-ambing dalam pikiran keliru**  seperti ini, mereka tak akan pernah dapat melihat intisari sesungguhnya.
*).  Kebenaran, seperti pandangan benar (samma ditthi), moralitas (sila), konsentrasi (samadhi), kebijaksanaan (panna) dsb. Manfaat suatu kehidupan suci tidak dapat dicapai  dengan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan.
**).  Pikiran keliru, yaitu nafsu (kama), itikad jahat (vyapada), dan kekerasam (vihimsa).

(12).
Tapi mereka yang mengetahui kebenaran sebagai kebenaran, dan ketidakbeneran sebagai ketidakbeneran, mereka yang bersemayam dalam pikiran benar* dapat menyadari intisari sebenarnya.
*).   Pikiran benar, pelepasan (nekkhamma), kasih sayang (avyapada), dan kelembutan (avihimsa).

(13).
Seperti hujan menembus rumah beratap tiris, begitulah nafsu dengan mudah merasuk ke dalam pikiran yang tidak terlatih.

(14).
Seperti hujan tidak dapat menembus rumah beratap kuat, begitulah nafsu tak kuasa merasuk ke dalam pikiran yang terlatih.

(15).
Di kehidupan ini ia menderita, di kelahiran berikutnya ia menderita. Pembuat kejahatan menderita di alam kehidupan ini maupun alam kehidupan berikutnya dan merana melihat hasil perbuatan buruknya.

(16).
Di kehidupan ini ia bahagia, begitu pula di kehidupan berikutnya ia bahagia, pembuat kebajikan berbahagia di kehidupan ini maupun kehidupan berikutnya dan merasa berbahagia setelah melihat hasil perbuatan baiknya.

(17).
Di alam ini ia bersedih, di alam berikutnya ia bersedih, pembuat kejahatan bersedih hati di alam kehidupan ini maupun di alam kehidupan berikutnya dan ia bersedih mengingat kejahatan yang telah dilakukan, terlebih setelah jatuh ke dalam penderitaan.

(18).
Di alam ini ia berbahagia, di alam berkutnya ia berbahagia, pembuat kebajikan bergembira di alam kehidupan ini maupun di alam kehidupan berikutnya dan ia bergembira mengingat kebajikan yang telah dilakukan, terlebih setelah mengecap kebahagiaan.

(19).
Orang yang meskipun banyak membaca kitab suci, tapi tidak berbuat sesuai Ajaran, seperti gembala yang menghitung sapi milik orang lain, tidak akan memperoleh manfaat kehidupan suci.

(20).
Orang yang meskipun sedikit membaca kitab suci, tapi berbuat sesuai  Ajaran, menyingkirkan nafsu, kebencian, dan kebodohan, memiliki pengetahuan benar, batin yang bebas, dan tidak terikat pada kehidupan sekarang maupun yang akan datang; akan memperoleh kehidupan suci.

Empat Kebenaran Mulia









Dhamma

Dhamma berarti "kebenaran universal" yang ditemukan Sang Buddha.  Dhamma tetap ada walaupun Sang Tathagatha ( sebutan Buddha untuk dirinya sendiri ) ada/hadir di dunia ini ataupun tidak.  Dhamma adalah kebenaran yang berada di alam semesta ini tidak terkecuali apakah seseorang mengakui atau tidak, mengetahui atau tidak, kebenaran ini akan tetap ada.


Ada dua macam kebenaran

1,  Kebenaran mutlak : kebenaran yang berlaku bagi siapapun dan apapun tanpa tergantung tempat, waktu dan kondisi. Segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak kekal, bersifat timbul dan tenggelam, setelah lahir kemudian hancur. Semua yang berawal, pasti ada akhir.

2,    Kebenaran relatif :  kebenaran yang tergantung tempat, waktu dan kondisi.  Misalnya hukum gravitasi dimana ketika semua benda dilepaskan di bumi akan jatuh ke bawah, tetapi tidak ketika diletakkan di luar angkasa.


          Di alam semesta ini, ada begitu banyak kebenaran. Tetapi Buddha mengajarkan kebenaran yang lebih bermanfaat untuk semua makhluk. Kebenaran yang akan mengantarkan seseorang untuk dapat mengenali kebenaran-kebenaran lainnya dengan benar.  Yaitu,  Kebenaran tentang Empat Kebenaran Mulia.



Empat Kebenaran Mulia

(1). Kebenaran tentang dukkha. 
(2). Kebenaran tentang asal dukkha.
(3). Kebenaran tentang musnahnya dukkha. 
(4). Kebenaran tentang jalan manuju lenyapnya dukkha,  yaitu, Jalan Mulia Berunsur Delapan.



Kebenaran Mulia Pertama : Dukkha - Hakekat kehidupan adalah dukkha.

Kondisi kehidupan yang kita jalani pada hakikatnya adalah dukkha. Ini merupakan pandangan Sang Buddha mengenai kehidupan dalam bentuk apapun juga. Dikarenakan, semua bentuk atau ciri kehidupan yang ada di alam semesta ini sifatnya "selalu berubah". Oleh karena itulah sebaiknya manusia dengan bijaksana menerima hal ini sebagai sebuah kewajaran yang alami.

Dukkha 1
Dukkha sebagai sebuah penderitaan yang nyata. Manusia lahir, tua, menderita sakit dan mati. Lalu terlahir kembali untuk mengulang penderitaan ini.

Dukkha 2
Dukkha sebagai sebuah penderitaan karena adanya perubahan-perubahan seperti senang, puas, terkadang sedih, jengkel tidak terpuaskan; berkumpul dengan orang yang dicintai tetapi tidak cukup lama adalah dukkha, mendapatkan apa yang tak diinginkan adalah dukkha, mendapatkan apa yang diinginkan tetapi tidak cukup banyak adalah dukkha, berkumpul dengan orang yang dibenci adalah dukkha, postur tubuh yang tidak sesuai adalah dukkha.

Dukkha 3
Dukkha sebagai penderitaan yang disebabkan adanya keadaan yang berkondisi, karena perpaduan lima kelompok kehidupan; memiliki indera akan mengalami penderitaan karena adanya kontak, memiliki kesadaran, akan menyadari hal-hal yang tidak menyenangkan, memiliki ingatan akan pengalaman/trauma masa lalu, stres memikirkan masa depan, pikiran-pikiran yang tak terkendali akan mengalami kesedihan.


Kebenaran Mulia Kedua : Tanha - Sumber dari dukkha adalah Tanha.

Penyebab dukkha adalah Tanha atau nafsu keinginan yang melekat, yang didasari oleh keserakahan ( lobha ), kebencian ( dosa ), dan kebodohan ( moha ).

Tanha 1
Nafsu keinginan yang membawa pada kehausan akan kenikmatan-kenikmatan indera, seperti sentuhan sensual, pandangan akan sesuatu yang erotis, atau mulut yang bagai sumur tak ada dasar, makan apa saja beberapa jam kemudian makan lagi.

Tanha 2
Nafsu keinginan yang mengakibatkan kehausan untuk memiliki, selalu tidak puas dengan apa yang sudah dimiliki, ingin terus perbanyak, kehausan yang menyebabkan kelahiran terus berputar dan berputar.

Tanha 3
Nafsu keinginan yang mengakibatkan kehausan untuk menyingkirkan sesuatu, menyingkirkan yang dibenci sampai timbulnya hasrat untuk melarikan diri dari suatu masalah, sampai pada keinginan untuk memusnahkan diri dengan berpikir setelah mati maka berakhirlah semua penderitaan yang dialaminya.


Kebenaran Mulia ketiga : Nirodha - Padamnya nafsu keinginan, berakhirnya dukkha - Nibbana.
Bahwa penderitaan yang menguasai kehidupan kita secara berulang ini, bisa dihentikan dengan membuang penyebabnya sehingga terbebas dari belenggu tanha yang mengikat dan mencapai Nibbana.  Buddha mendeklarasikan bahwa "Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi".   Dalam Aggivacchagotta Sutta Buddha mengumpamakan Parinibbana dengan sebuah nyala api yang tergantung pada kayu dan rumput yang menjadi padam ketika kayu dan rumput tersebut habis terbakar. Menanyakan apakah api tersebut pergi ke utara, selatan, timur, atau barat adalah tidak sesuai untuk kasus ini.    Nibbana dicapai dengan penghentian secara total kekotoran-kekotoran batin yang memberikan pembebasan sempurna dari dukkha, pembasmian terhadap kesalahan "aku" dan penghancuran terhadap kerakusan, kebencian dan delusi.


Kebenaran Mulia keempat : Maggha - Jalan menuju berakhirnya penderitaan, yaitu - Jalan Mulia Berunsur Delapan.

1,  Pandangan benar.
2,  Pikiran benar.
3,  ucapan benar.
4,  Perbuatab benar.
5,  Mata pencaharian benar.
6,  Daya upaya benar
7,  Perhatian benar.
8,  Konsentrasi benar.

1  :  Pandangan benar
Memiliki pandangan atau pengertian benar adalah memahami segala sesuatu sebagaimana adanya sesuai dengan realita yang ada, mengerti Ajaran Empat Kebenaran Mulia, juga diartikan memiliki pandangan atau pengertian benar terhadap hukum karma, hukum tilakhana, hukum sebab akibat.

Hukum tilakana/3 corak kehidupan
Anicca- adalah tentang kenyataan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini tidak kekal dan selalu berubah.

Dukkha- adalah tentang kenyataan bahwa segala sesuatu yang berkondisi dan berubah terus-menerus adalah tidak memuaskan, tidak dapat memuaskan seluruh hasrat/keinginan kita dengan sempurna. Orang bijaksana tidak seharusnya menderita karena adanya perubahan-perubahan dalam kehidupannya.

Anatta- adalah tentang kenyataan bahwa segala sesuatu baik yang berkondisi dan tidak berkondisi adalah bukan aku. Kenyataan bahwa kita tidak bisa mengontrol tubuh jasmani ini seperti yang kita inginkan ;  tidak menjadi sakit/terserang penyakit, tidak menjadi tua/lapuk, terus rupawan. Bahkan menjaga batin agar selamanya bahagia, senang dan tidak berduka menandakan diri ini bukanlah sang aku, bukan milik-ku.  Orang bijaksana akan menghindari bentuk- bentuk pengakuan diri karena segala sesuatu pada saatnya akan berubah.

Hukum sebab-akibat
Hukum sebab-musabab yang saling bergantungan.  "Dengan adanya ini, maka terjadilah itu. Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu. Dengan padamnya ini, maka padamlah itu".  Pengetahuan ini ditemukan Buddha Gautama dalam perenungan Beliau pada minggu-minggu pertama setelah pencapaian Penerangan Sempurna.

Lima hukum alam :  semua fenomena di alam semesta ini bekerja menurut salah satu dasar dari lima hukum alam ini
1,  Hukum-hukum fisika berkaitan dengan energi yang mengatur terbentuk dan hancurnya segala sesuatu yang berkaitan dengan alam semesta (utu-niyama).

2,      Hukum-hukum biologis berkaitan dengan biologis semua aspek makhluk hidup (bija-niyama).

3,       Hukum-hukum psikologik yang mengatur fungsi-fungsi kesadaran dan fenomena ekstrasensorik atau kekuatan pikiran (citta-niyama).

4,        Hukum-hukum sebab dan akibat dari perbuatan (kamma-niyama).

5,        Hukum-hukum semesta yang mengatur segala sesuatu di luar empat hukum di atas (dhamma-niyama).



2  :  Pikiran benar
Pikiran adalah dasar dari segala sesuatu yang kita kerjakan, jadi memiliki pikiran yang benar dan murni merupakan hal yang penting karena akan mempengaruhi apa yang akan kita lakukan.


3  :  Ucapan benar
Menjaga ucapan agar selalu benar, mengandung kebenaran, tepat waktu. Berarti menjauhkan diri dari ucapan jahat, atau desas-desus, tidak menyebabkan ketidakharmonisan atau perpecahan diantara orang-orang. Hendaklah ucapan seyogianya tidak merugikan/menyakiti makhluk lain.


4  :  Perbuatan benar
Perbuatan benar berarti tidak melakukan kesalahan dengan badan jasmani :  yaitu, menjauhkan diri dari melakukan pembunuhan -- tidak menghilangkan kehidupan (nyawa) semua makhluk hidup (secara langsung, maupun tidak langsung).
Menjauhkan diri dari melakukan pencurian -- tidak mengambil apa yang tidak diberikan.
Menjauhkan diri dari melakukan pelanggaran seksual -- tidak melakukan perbuatan seksual (diluar pernikahan).


5  :  Mata pencaharian (penghidupan) benar
Mata pencaharian benar ialah yang tidak tercela, hendaknya menghindari kecurangan, penujuman, penipuan dan perdagangan yang merugikan makhluk lainnya : penjualan manusia, membesarkan binatang untuk dijual guna disembelih, senjata-senjata untuk membunuh, minuman keras dan obat-obat terlarang, juga racun yang digunakan untuk membunuh.


6  :  Usaha benar
Usaha benar memiliki empat komponen : 
(a)  usaha untuk membuang pikiran-pikiran jahat yang telah muncul.
(b)  usaha untuk mencegah munculnya pikiran jahat yang belum muncul.
(c)  usaha untuk memunculkan pikiran-pikiran baik yang belum muncul, dan
(d)  usaha untuk mengembangkan pikiran-pikiran baik yang telah muncul.

Yang dimaksud dengan pikiran jahat ialah pikiran yang diliputi keterikatan, delusi, sifat tidak tahu malu, kesombongan, kebencian, kedengkian, kecemburuan (sifat iri hati), kikir, ketidaktenangan dll.

Yang dimaksud dengan pikiran baik ialah pikiran yang tanpa keterikatan, tahu malu, percaya diri, penuh kesadaran, sikap hangat (persahabatan), ketenangan dll.


7  :   Perhatian benar
Perhatian Benar adalah perhatian yang konstan pada :
(a)  tubuh --  apa saja yang dilakukannya.
(b)  perasaan --  apakah menyenangkan, tidakmenyenangkan, atau netral.
(c)  keadaan --  keadaan batin, objek-objek batin.
(d)  pikiran --  keadaan pikiran, apakah sedang fokus, mengembara atau panik.

Selanjutnya setelah perhstian/perenungan itu,  orang tersebut sadar terhadap batin dan jasmaninya,  "aku" yang mana paling penting dan perlu untuk menyadari tiga karakteristik keberadaan, bahwa segala sesuatu itu tidak permanen, dukkha, dan tanpa inti diri yang terpisah.


8  :  Konsentrasi benar
Konsentrasi yang benar adalah ketika kita dapat mempertahankan perhatian kita secara terus-menerus terhadap permasalahan (objek).

Adalah perlu untuk mengembangkan konsentrasi (samadhi) karena pikiran yang tidak terkonsentrasi, dikuasai oleh lima rintangan ---  keinginan sensual, kehendak yang tidak sehat, kemalasan/keengganan, kegelisahan/kekhawatiran dan keragu-raguan (tidak bisa mengambil keputusan) ---  sehingga seseorang tidak melihat hal-hal  (benda-benda) sebagaimana adanya dan dengan demikian tidak dapat memperoleh pandangan atau pengetahuan yang tinggi.

Pikiran yang tidak terlatih, liar dan tidak tenang --- seperti kuda liar. Ia perlu dijinakkan sebelum dapat digunakan. Dalam Samyutta Nikaya Buddha mengumpamakan pikiran (kesadaran) dengan enam binatang (ular, buaya, burung, anjing, serigala dan monyet) yang diikat bersama, tetapi masing-masing selalu bergerak menuju arah berbeda. Mereka harus diikat pada satu tiang sehingga tidak bisa pergi. Demikian kata Buddha, dalam meditasi kita mengikat pikiran (perhatian) kita hanya pada satu objek meditasi tertentu supaya akhirnya pikiran berhenti berlari, tidak keluar melalui enam pintu indera dan menjadi terpusat pada objek meditasi.

Metode meditasi yang diajarkan oleh Buddha (salah satunya) adalah perhatian penuh pada pernapasan, yang juga merupakan metode yang digunakan sendiri oleh Yang Diberkahi (Buddha Gautama). Ini merupakan suatu metode universal yang cocok untuk semua orang. Dalam metode ini orang mencurahkan perhatiannya pada napasnya ketika ia datang (masuk) dan pergi (keluar) melalui lubang hidung, supaya pikiran secara berangsur-angsur mencapai konsentrasi.  Ketika seseorang mempraktikan meditasi, dia akan menyadari pentingnya meninggalkan keduniawian. Suatu pikiran yang terarah pada masalah-masalah dunia selalu terseret oleh pemikiran-pemikiran asing (yang tidak penting) dan tidak dapat menjadi terpusat.

7 Keunggulan Ajaran Buddha

Snowflake Buddha





Buddha diagungkan bukan karena kekayaan, keindahan, atau lainnya. Beliau diagungkan karena kebaikan, kebijaksanaan, dan pencerahanNya. Inilah alasan mengapa kita, seorang Buddhis, menganggap ajaran Buddha sebagai jalan hidup tertinggi.
Apa sajakah keunggulan-keunggulan yang menumbuhkan kekaguman kita terhadap ajaran Buddha?

1. Ajaran Buddha tidak membedakan kelas / kasta

 

Buddha mengajarkan bahwa manusia menjadi baik atau jahat bukan karena kasta atau status sosial, bukan pula karena percaya atau menganut suatu kepercayaan. Seseorang baik atau jahat karena perbuatannya. Dengan berbuat jahat, seseorang menjadi jahat, dan dengan berbuat baik, seseorang menjadi baik. Setiap orang, apakah ia raja, orang miskin atau pun orang kaya, bisa masuk surga atau neraka, atau mencapai Nibbana, dan hal itu bukan karena kelas atau pun kepercayaannya.

2. Ajaran Buddha mengajarkan belas kasih yang universal

 

Buddha mengajarkan kita untuk memancarkan metta (kasih sayang dan cinta kasih) kepada semua makhluk tanpa kecuali. Terhadap manusia, janganlah membedakan bangsa. Terhadap hewan, janganlah membedakan jenisnya. Metta harus dipancarkan kepada semua hewan termasuk yang terkecil seperti serangga.

3. Dalam ajaran Buddha, tidak seorang pun diperintahkan untuk percaya

 

Sang Buddha tidak pernah memaksa seseorang untuk mempercayai ajaranNya. Semua adalah pilihan sendiri, tergantung pada hasil kajian masing-masing individu. Buddha bahkan menyarankan, “Jangan percaya apa yang Kukatakan kepadamu sampai kamu mengkaji dengan kebijaksanaanmu sendiri secara cermat dan teliti apa yang Kukatakan.” Ajaran Buddha tidak terlalu dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan dan kritik-kritik terhadap ajaranNya. Jelaslah bagi kita bahwa ajaran Buddha memberikan kemerdekaan atau kebebasan berpikir.

4. Agama Buddha mengajarkan diri sendiri sebagai pelindung

 

Buddha bersabda, “Jadikanlah dirimu pelindung bagi dirimu sendiri. Siapa lagi yang menjadi pelindungmu? Bagi orang yang telah berlatih dengan sempurna, maka dia telah mencapai perlindungan terbaik.”
Ini bisa dibandingkan dengan pepatah bahasa Inggris, “God helps those who help themselves” –Tuhan menolong mereka yang menolong dirinya sendiri. Inilah ajaran Buddha yang menyebabkan umat Buddha mencintai kebebasan dan kemerdekaan, dan menentang segala bentuk perbudakan dan penjajahan.

Buddha tidak pernah mengutuk seseorang ke neraka atau pun menjanjikan seseorang ke surga, atau Nibbana; karena semua itu tergantung akibat dari perbuatan tiap-tiap orang, sementara Buddha hanyalah guru atau pemimpin. Seperti tertulis dalam Dhammapada, “Semua Buddha, termasuk Saya, hanyalah penunjuk jalan.” Pilihan untuk mengikuti jalanNya atau tidak, tergantung pada orang yang bersangkutan.

5. Ajaran Buddha adalah ajaran yang suci

Yang dimaksudkan di sini adalah ajaran tanpa pertumpahan darah.
Dari awal perkembangannya sampai sekarang, lebih dari 2500 tahun –ajaran Buddha tidak pernah menyebabkan peperangan. Bahkan, Buddha sendiri melarang penyebaran ajaranNya melalui senjata dan kekerasan.

6. Ajaran Buddha adalah ajaran yang damai dan tanpa monopoli kedudukan

Dalam Dhammapada, Buddha bersabda, “Seseorang yang membuang pikiran untuk menaklukkan orang lain akan merasakan kedamaian.” Pada saat yang sama, Beliau memuji upaya menaklukkan diri sendiri. Beliau berkata, “Seseorang yang menaklukkan ribuan orang dalam perang bukanlah penakluk sejati. Tetapi seseorang yang hanya menaklukkan seorang saja yaitu dirinya sendiri, dialah pemenang tertinggi.”
Di sini, menaklukkan diri sendiri terletak pada bagaimana mengatasi kilesa (kekotoran batin). Andaikan semua orang menjadi umat Buddha, maka diharapkan manusia akan beroleh perdamaian dan kebahagiaan. Buddha mengatakan bahwa semua makhluk harus dianggap sebagai sahabat atau saudara dalam kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian. Beliau juga mengajarkan semua umat Buddha untuk tidak menjadi musuh orang-orang tidak satu keyakinan atau pun menganggap mereka sebagai orang yang berdosa. Beliau mengatakan bahwa siapa saja yang hidup dengan benar, tak peduli kepercayaan apapun yang dianutnya, mempunyai harapan yang sama untuk memperoleh kebahagiaan di kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang. Sebaliknya, siapapun yang menganut ajaran Buddha tetapi tidak mempraktikkannya, hanya akan memperoleh sedikit harapan akan pembebasan dan kebahagiaan.
Dalam ajaran Buddha, setiap orang memiliki hak yang sama untuk mencapai kedudukan yang tinggi. Dengan kata lain, setiap orang dapat mencapai Kebuddhaan.

7. Ajaran Buddha mengajarkan hukum sebab dan akibat

Buddha mengajarkan bahwa segala sesuatu muncul dari suatu sebab. Tiada suatu apapun yang muncul tanpa alasan.
Kebodohan, ketamakan, keuntungan, kedudukan, pujian, kegembiraan, kerugian, penghinaan, celaan, penderitaan –semua adalah akibat dari keadaan-keadaan yang memiliki sebab.
Akibat-akibat baik muncul dari keadaan-keadaan yang baik, dan akibat buruk muncul dari penyebab-penyebab buruk pula. Kita sendiri yang menyebabkan keberuntungan dan ketidakberuntungan kita sendiri. Tidak ada Tuhan atau siapapun yang dapat melakukannya untuk kita. Oleh karena itu, kita harus mencari keberuntungan kita sendiri, bukan membuang-buang waktu menunggu orang lain melakukannya untuk kita. Jika seseorang mengharapkan kebaikan, maka dia hanya akan berbuat kebaikan dan berusaha menghindari pikiran dan perbuatan jahat.

Prinsip-prinsip sebab dan akibat; suatu kondisi yang pada mulanya sebagai akibat akan menjadi sebab dari kondisi yang lain, dan seterusnya seperti mata rantai. Prinsip ini sejalan dengan pengetahuan modern yang membuat ajaran Buddha tidak ketinggalan zaman daripada kepercayaan-kepercayaan lain di dunia.
“Dhamma itu indah pada awalnya, indah pada pertengahannya dan indah pada akhirnya”

Rabu, 13 Juni 2012

Keistimewaan Ajaran Buddha

Keistimewaan Ajaran Buddha

 
 
 
 
 
 
2 Votes

Buddha
Keistimewaan Ajaran Buddha
Oleh : Willy Yandi Wijaya
Di dunia ini terdapat banyak sekali agama maupun kepercayaan yang terkadang membuat kita menjadi bingung entah mana yang benar atau salah. Pada umumnya manusia memeluk suatu agama hanya karena warisan dari orang tua. Namun, sejak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak manusia yang berpikiran semakin terbuka dan mulai mempertanyakan keyakinan atau agama yang selama ini diyakininya. Di sini penulis akan memaparkan keiistimewaan ajaran Buddha.
Kebebasan berpikir dan Penyelidikan
Kebebasan berpikir yang membuat agama Buddha paling menarik bagi banyak orang. Di dalam Kalama Sutta (Anguttara Nikaya III, 65) diceritakan bahwa Suku Kalama bingung oleh banyaknya ajaran, agama, maupun kepercayaan yang menyebar dan saling mengatakan bahwa agama, kepercayaan maupun ajaran mereka masing-masing yang terbaik dan paling benar. Di sini lah Buddha Gautama memberikan 10 panduan yang berlaku sepanjang masa, yaitu
  1. Ma anussavena: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu karena turun-temurun telah diberikan secara lisan, misalnya kepercayaan terhadap burung gagak dan angka 13 yang membawa sial. Yang penting adalah cara pandang dalam melihat suatu tradisi lisan yang turun-temurun diberikan karena beberapa tradisi lisan memang mengajarkan hal-hal yang positif.
  2. Ma paramparaya: Seseorang tidak seharusnya menerima mentah-mentah sesuatu karena suatu tradisi dilakukan secara turun-temurun, contohnya tradisi pengorbanan hewan untuk menghindari kemalangan. Perlu kita ketahui bahwa suatu budaya tidak ditolak dalam agama Buddha. Yang penting adalah bagaimana cara pandang terhadap budaya tersebut yang tentunya sejalan dengan etika buddhis.
  3. Ma itikiriya: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu secara membuta karena tersebar umum, dipercayai banyak orang, disetujui banyak orang, misalnya berita melalui sms yang membuat kepanikan, maupun berita dari internet tentang suatu hal.
  4. Ma pitakadampadanena: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai kebenaran hanya karena telah tercantum dalam kitab suci. Kepercayaan yang membuta terhadap kitab suci bisa membuat fanatik dan penghancuran terhadap kepercayaan orang lain.
  5. Ma takkahetu: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai kebenaran hanya karena sejalan dengan logika. Keyakinan ini bisa menjadi salah jika bersumber dari sumber yang salah maupun data-data yang tidak benar. Banyak dari kita menerima surat elektronik (e-mail) berisi informasi yang simpang siur walaupun terkadang dibuat seolah-olah logis dan masuk akal.
  6. Ma nayahetu: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai kebenaran hanya karena hipotesis, perkiraan maupun analisis dalam pemikiran dan terburu-buru mengambil kesimpulan.
  7. Ma akaraparivitakkena: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai kebenaran hanya karena masuk akal seperti yang terlihat atau yang dirasa. Contohnya seperti ketika orang pada abad pertengahan melihat seolah-olah bahwa matahari mengelilingi bumi seperti yang terlihat nyata oleh mata mereka dan dirasa kalau bumi tidak bergerak, padahal kenyataannya sebaliknya.
  8. Ma ditthinijhanakkhantiya: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai kebenaran hanya karena sesuai dengan anggapan sebelumnya.
  9. Ma bhabbarupataya: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai kebenaran hanya karena kredibilitas, ketenaran, kharisma, kedudukan maupun pendidikan dari si pembicara. Sering kali kita memercayai perkataan seseorang yang berpendidikan tinggi, dihormati atau disegani, padahal belum tentu hal tersebut benar.
  10. Ma samano no garuti: Seseorang tidak seharusnya menerima sesuatu sebagai kebenaran hanya karena si pembicara adalah gurunya. Buddha mengatakan hal ini termasuk untuk pengikutnya karena Beliau tidak ingin seseorang mudah dikontrol oleh orang lain.
Kesepuluh cara ini membuat kita berpikir ulang sebelum memercayai suatu hal. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah Buddha bukan mengajarkan untuk menolak mentah-mentah suatu hal. Bukan pula langsung menerima atau meyakini suatu hal dengan membabi buta. Justru yang Sang Buddha harapkan adalah penyelidikan yang mendalam, khususnya penyelidikan terhadap kebenaran (dhammawicaya).
Banyak yang salah mengerti ajaran Buddha dan menganggap bahwa jangan memercayai siapapun dan kebenaran hanya ada di diri sendiri. Hal ini dapat menjadi kesombongan karena mengira kalama sutta mengajarkan demikian. Yang benar adalah bahwa pelajari dan selidiki dahulu kebijaksanaan atau ajaran disekeliling kita yang dianggap lebih baik dan menuntun kebahagiaan. Jika ternyata membuat penderitaan, maka hindari ajaran tersebut. Sebaliknya apabila membawa manfaat bagi diri sendiri dan orang lain, maka ambil ajaran tersebut.
Kalama Sutra
panduan Keyakinan dan berpikir Buddhis
Pengalaman dan pembuktian sendiri
Keisitimewaan ajaran Buddha dari yang lain juga terletak pada pembuktian langsung dan berdasar pengalaman pribadi. Sang Buddha memberi kesempatan berpikir bagi setiap orang dengan sebebas-bebasnya. Apakah ada pendiri agama di dunia yang seperti Buddha Gautama? Bahkan Sang Buddha mengajarkan jangan percaya kepada Beliau sebelum ajarannya dipraktikkan dan dibuktikan sendiri. Ajaran sebaik apapun tidak akan bermanfaat jika tanpa dialami langsung oleh diri sendiri. Buddha selalu mendorong murid-muridnya untuk mencoba sendiri apa yang Beliau katakan.
Faktor utama yang paling penting dalam membuktikan suatu ajaran adalah dengan penyelidikan atau investigasi berdasarkan pandangan benar (sammaditthi). Menurut Buddha, investigasi kebenaran (dhammawicaya) atau membuka pandangan merupakan dasar bagi pencerahan dan kebahagiaan sejati. Tanpa ada keinginan untuk membuka diri dan berusaha untuk membebaskan pandangan dari ketidaktahuan, seseorang pasti diliputi ketidakbahagiaan.
Haromis dengan Iptek
Ketika banyak agama merasa terancam dengan pemikiran modern dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, agama Buddha justru sebaliknya mendapatkan tempat untuk berjalan beriringan. Ketika banyak agama menolak teori evolusi, perkembangan bioteknologi, maupun teori tanpa batas tepi (teori kosmologi mengenai ketiadaan awal maupun akhir dari alam semesta oleh Stephen Hawking), agama Buddha sebaliknya tidak langsung menolak hal-hal tersebut. Bagi ajaran Buddha, perkembangan tekonologi bagaikan pisau yang di satu sisi dapat dimanfaatkan untuk memotong di dapur, namun di sisi lain dapat dipakai untuk menusuk orang lain. Jadi, alih-alih ajaran Buddha menolak pisau tersebut, melainkan alasan penggunaan pisau tersebut yang ditolak oleh Beliau ketika dipakai untuk melukai.
Ajaran yang unik
Hanya agama Buddha yang mengajarkan bahwa dunia ini tidak memerlukan seorang pencipta yang mengontrol segalanya. Sang buddha mengatakan bahwa segala hal yang ada di dunia ini saling terikat, saling terkait, dan saling memengaruhi. Sebab-akibat yang diajarkan Buddha bukan sekedar satu arah, namun lebih kompleks bagaikan jaring laba-laba yang saling terikat dan berpengaruh. Getaran di satu titik pada bagian jaring, akan memberikan dampak terhadap sekitarnya. Tentunya persekitarannya yang paling dekat yang menerima dampak yang lebih besar daripada bagian jaring yang jauh. Sama seperti itu pula, setiap tindakan seseorang, akan memengaruhi dan memberikan dampak terutama terhadap orang-orang serta lingkungan sekitarnya. Inilah makna ajaran Buddha yang paling dalam dan khas, Kesalingterkaitan Antar Segala Sesuatu (paticcasamupada).
Ajaran Buddha juga satu-satunya ajaran yang tidak mengenal ‘diri’ atau roh kekal pada diri seseorang. Sang Buddha mengajarkan bahwa segala yang ada di dunia selalu mengalami perubahan (anicca), sehingga tidak memerlukan suatu ‘diri’ yang tetap. Ketidaktahuan dan kebodohan karena tidak dapat menerima perubahan itulah yang dikatakan Buddha sebagai penderitaan (dukkha). Karena tidak adanya ‘diri’ yang tetap, Buddha mengajarkan bahwa lakukan hal-hal yang baik demi diri sendiri maupun orang lain. Bukan hanya demi diri sendiri, namun juga demi orang lain. Bukan pula hanya demi orang lain tanpa melatih diri sendiri. Ketika semakin memperdalam ajaran, banyak guru-guru Buddhis mengucapkan bahwa mereka tidak dapat membedakan kebahagiaan diri sendiri maupun orang lain. Kebahagiaan orang lain sama dengan kebahagiaan diri sendiri. Itulah harapan Sang Buddha yang terus-menerus membagi ajaran dan cara-cara untuk mendapatkan kebahagiaan sebenarnya selama 45 tahun Beliau menyebarkan ajaran (Dharma) demi orang banyak (Anguttara Nikaya II, 146).
Daftar Pustaka
Buddhadasa, Bhikkhu. 2005. Pesan-pesan Kebenaran. Jakarta: Yayasan Penerbit Karaniya.
Thera, Nyanaponika dan Bodhi, Bhikkhu (editor). 2001. Petikan Anguttara Nikaya 1. Klaten: Wisma Meditasi dan Pelatihan DHAMMAGUNA.
Wijaya, Willy Yandi. 2008. Pandangan Benar. Yogyakarta: Insight Vidyasena Production.
Wijaya, Willy Yandi. 2009. Pikiran Benar. Yogyakarta: Insight Vidyasena Production.

Translate