Arca Buddha
Friday, November 4th, 2011 at
7:59 am
Arca Buddha
(Buddharupang)
Tak selayaknya karena marah dan benci mengharap yang lain celaka
Salah satu baris dari bait Mettasutta – Sutta tentang Cinta Kasih
Tipitaka, Sutta Pitaka, Khuddakanikaya, Khuddakapatha
Salah satu baris dari bait Mettasutta – Sutta tentang Cinta Kasih
Tipitaka, Sutta Pitaka, Khuddakanikaya, Khuddakapatha
Adalah hal yang sering terlihat dalam masyarakat, kebanyakan umat
maupun simpatisan Buddhis di rumah maupun di tempat kerja memiliki arca
Buddha atau sering disebut sebagai Buddharupang. Secara bebas dapatlah dikatakan bahwa Buddharupang berarti gambar atau perwujudan lain dari Sang Buddha.
Agar mempersempit lingkup pembahasan, maka dalam kesempatan ini hanya diulas Buddharupang
yang diartikan sebagai arca Sang Buddha. Sepintas arca Sang Buddha
memiliki bentuk yang hampir sama yaitu duduk bersila di atas bunga
teratai yang sedang mekar penuh. Namun, apabila diperhatikan lebih
seksama, pada arca Sang Buddha terdapat perbedaan posisi tangan. Setiap
posisi tangan, dimaknai secara khusus oleh pembuat atau pemahatnya.
Terdapat arca Sang Buddha dengan posisi tangan meditasi, mengajarkan
Dhamma, bertekad kuat dsb.
Bentuk Buddharupang sebenarnya lebih menunjuk pada kualitas
kebaikan manusia daripada melambangkan wajah Sang Buddha pada saat
Beliau masih hidup. Oleh karena itu, sangat wajar kalau wajah dan bentuk
tubuh Buddharupang berbeda dari satu negara dibandingkan dengan negara lain. Buddharupang model Borobudur di Indonesia jelas tampak berbeda dibandingkan dengan Buddharupang dari Thailand, Myanmar, Srilanka, Jepang, Tiongkok dan berbagai negara Buddhis lainnya.
Adanya perbedaan wajah dan bentuk tubuh Buddharupang dari berbagai penjuru dunia ini tidak mengurangi penghormatan para umat maupun simpatisan Buddhis saat mereka melihat Buddharupang. Mereka tetap memberikan penghormatan yang layak di manapun mereka melihat maupun bertemu dengan arca Sang Buddha.
Dalam masyarakat Buddhis dikenal adanya beberapa jenis penghormatan yang dapat dilakukan oleh umat Buddha terhadap Buddharupang. Penghormatan yang dimaksud antara lain adalah anjali
yaitu merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada. Selain itu,
apabila berada di tempat yang memungkinkan, umat Buddha juga biasa
melakukan penghormatan kepada Buddharupang dengan bersujud pada
lima titik tumpu yaitu kedua lutut, kedua siku dan dahi bersentuhan
dengan tanah. Posisi sujud ini biasa disebut sebagai namakara.
Anjali maupun sujud (namakara) adalah merupakan
bagian dari tradisi India tempat Sang Buddha Gotama berasal. Sujud
dilakukan sebagai lambang perhormatan. Penghormatan atas kualitas
kebajikan, kasih sayang, kebijaksanaan Sang Buddha Gotama yang luar
biasa. Perilaku sujud ini juga menjadi salah satu bentuk penghormatan di
negara Asia lainnya, termasuk Indonesia. Sudah sangat umum bila
generasi muda menghormat orangtua atau mereka yang dihormati dengan cara
bersujud. Kadang, penghormatan terhadap Buddharupang dengan
cara bersujud sesuai tradisi ini sering disalahartikan sebagai
menyembah. Sering terdengar umat Buddha dikatakan ‘menyembah berhala’,
padahal perilaku yang sesungguhnya bukanlah demikian.
Salah satu kualitas kebajikan yang telah dilakukan Sang Buddha Gotama
sehingga Beliau layak mendapat penghormatan dari para umat maupun
simpatisan Buddhis dengan cara anjali maupun bersujud adalah
karena Beliau selama hidupNya selalu menyelesaikan permasalahan dengan
cara penuh kedamaian serta membawa kebahagiaan untuk semua makhluk.
Sebagai salah satu contoh, pada suatu ketika, Sang Buddha Gotama
seperti biasa sedang berjalan ke suatu daerah untuk membabarkan Dhamma
kepada umatNya. Beliau diiringi oleh murid-muridNya, yang penuh cinta
kasih dan pengabdian yang besar kepada Sang Buddha, Sang Guru Agung.
Melihat Sang Buddha yang dicintai oleh murid-muridNya, menyebabkan
Devadatta iri dan berpikir : “Adalah suatu kenyataan, bahwa tidak ada
satu mahlukpun yang dengan melihat Kesempurnaan Manusia Gotama mampu dan
berani untuk menyentuhNya. Tetapi raja gajah Nalagiri adalah binatang
yang amat galak dan liar, ia tidak mengetahui kesucian Buddha, Dhamma
serta Sangha. Ia akan saya lepaskan untuk menghancurkan Bhikkhu Gotama.”
Kemudian Devadatta pergi menemui Raja Ajatasattu dan membicarakan
masalah ini. Raja terpengaruh oleh penjelasannya dan memanggil penjaga
gajah, lalu memberi perintah : “Penjaga, besok kamu harus memberi
minuman keras kepada Nalagiri. Dan lepaskanlah Nalagiri di jalan raya
saat Bhikkhu Gotama sedang berjalan.”
Devadatta bertanya kepada penjaga itu berapa banyak air yang biasa
diberikan kepada gajah itu, penjaga itu menjawab : “Delapan guci.”
Devadatta lalu berkata : “Besok, berikan kepada Nalagiri enam belas
guci minuman keras dan lepaskan dia ke arah jalan raya yang akan dilalui
oleh Bhikkhu Gotama.”.
“Baiklah,” jawab penjaga itu.
Raja lalu menabuh tambur di seluruh kota dan mengumumkan : “Besok
gajah Nalagiri akan menjadi mabuk karena minum minuman keras dan akan
dilepas ke dalam kota. Penduduk di kota ini dapat melakukan semua
pekerjaannya hanya pada pagi hari, sesudah itu tidak boleh ada satu
orangpun yang berada di jalan raya.”
Devadatta lalu turun dari istana dan mendatangi kandang gajah
Nalagiri, ia mendekati penjaga gajah itu dan berkata : “Saya katakan
kepadamu, kita mampu untuk menghancurkan seseorang dari posisinya yang
tinggi ke posisi yang rendah. Dan menaikkan posisi seseorang yang rendah
menjadi posisi yang tinggi. Kalau kamu menginginkan kehormatan, besok
pagi-pagi sekali, berikan Nalagiri enam belas guci minuman keras dan
ketika Bhikkhu Gotama melewati jalan itu, lukailah gajah itu dengan
tongkat berduri. Karena gajah yang kesakitan itu akan marah, ia akan
menerobos kandangnya dan berlari keluar, arahkanlah ia ke jalan raya di
mana Bhikkhu Gotama sedang berjalan. Maka gajah itu akan
menghancurkanNya.”
Keduanya setuju dengan rencana jahat seperti itu. Berita ini bergema
ke seluruh kota. Pengikut Sang Buddha mendengar berita buruk ini menjadi
amat khawatir, lalu mereka mendatangi Vihara dan meminta Sang Buddha
untuk tidak masuk ke kota pada keesokan harinya, karena ada bahaya besar
yang menghadang Beliau. Mereka berjanji akan membawakan semua kebutuhan
yang diperlukan oleh Sang Guru beserta murid-muridNya. Namun Sang
Buddha menyatakan tetap akan menjalankan tugasNya seperti biasa. Para
pengikutNya melihat bahwa mereka tidak akan mampu mengubah rencana Sang
Guru Agung akhirnya mereka meninggalkan Vihara dengan perasaan amat
khawatir.
Setelah mereka pergi, Sang Buddha merenungkan semua keluargaNya yang
sudah mengerti akan Kebenaran. Beliau juga melihat dengan mata batinNya
apabila Nalagiri berhasil ditaklukkanNya, maka delapan puluh ribu mahluk
akan mendapatkan pengertian yang jelas tentang Dhamma Yang Mulia.
Keesokan paginya, Beliau memanggil Ananda, dan berkata untuk
memberitahukan kepada para bhikkhu di delapan belas vihara yang berada
di sekitar Rajagaha untuk menyertaiNya masuk ke kota. Bhikkhu Ananda
melaksanakan apa yang diminta oleh Sang Guru, dan semua bhikkhu
berkumpul di Vihara Veluvana.
Sang Buddha dengan disertai oleh semua murid-muridNya, berjalan
memasuki Rajagaha. Penjaga gajah itu bekerja sesuai dengan instruksi
Devadatta dan banyak orang berkerumun di sekitar jalan raya. Para
pengikut Sang Buddha berpikir : “Hari ini mungkin akan terjadi
pertempuran antara Sang Guru Agung dan gajah liar itu. Kami akan
menyaksikan kekalahan gajah Nalagiri dari Sang Buddha yang tiada
bandingannya.”
Penduduk lalu menaiki atap-atap rumah, gudang-gudang yang ada di
sekitar jalan raya itu. Tetapi ada pula pertapa lain yang berpikir :
“Nalagiri adalah gajah yang amat galak, binatang liar dan tidak
mengetahui kebaikan dan cinta kasih yang besar dari seorang Buddha. Hari
ini ia akan menghancurkan tubuh Bhikkhu Gotama dan Beliau akan
meninggal. Hari ini kami akan melihat apa yang terjadi denganNya.”
Para pertapa lalu berdiri di atas sebuah gudang dan di tempat-tempat
yang tinggi. Gajah Nalagiri melihat Yang Maha Sempurna berjalan
menghampiriNya, penduduk yang ada di sana amat ngeri melihat gajah
tersebut. Gajah yang amat kesakitan itu berlari dengan liarnya, ia
menghancurkan pagar rumah-rumah dan mengangkat belalainya tinggi-tinggi,
serta menginjak-injak kereta menjadi hancur berantakan. Dengan kuping
dan ekornya yang terangkat, ia berlari dengan kencangnya seperti gunung
yang tinggi menghampiri Yang Maha Sempurna.
Para bhikkhu yang melihat gajah Nalagiri berlari mendatangi Sang
Buddha, memberitahu Sang Guru Agung : “Yang Mulia, gajah Nalagiri
berlari di sepanjang jalan ini, ia adalah binatang yang amat galak dan
liar, ia pembunuh manusia. Kami mohon Yang Mulia balik kembali.”
“O….Para Bhikkhu datanglah ke sini, jangan takut; tidak ada satu
mahlukpun yang dapat menghancurkan Sang Tathagata dengan suatu serangan.
Tathagata mencapai Parinibbana bukan karena suatu serangan.”
Para bhikkhu, tetap memperingatkan Sang Guru sampai tiga kali. Yang
Mulia Sariputta lalu meminta Sang Buddha dengan berkata : “Yang Mulia,
apabila ada satu persembahan yang harus diberikan kepada seorang ayah,
maka beban itu terletak pada anak sulungnya. Saya akan mengalahkan
binatang ini.”
Sang Buddha lalu berkata : “Sariputta, kekuatan seorang Buddha adalah
satu hal dan pengikutnya adalah hal yang lain.” Beliau menolak tawaran
itu, dan berkata : “Sariputta, tetaplah tinggal di sini.”
Para bhikkhu lainnya juga meminta ijin untuk mengalahkan gajah liar
itu, tetapi Sang Guru menolak permintaan mereka. Kemudian Yang Mulia
Ananda, pembantu Sang Buddha yang mempunyai pengaruh besar terhadap Sang
Buddha, tidak mampu bersikap diam dalam menghadapi masalah ini, ia lalu
berteriak : “Biarkan gajah itu membunuh saya terlebih dahulu.”
Yang Mulia Ananda berdiri di depan Sang Buddha, siap untuk
mengorbankan hidupnya untuk Sang Tathagata. Tetapi Sang Buddha berkata
kepadanya : “Bergeserlah Ananda, jangan berdiri di hadapanKu.”
Yang Mulia Ananda berkata : “Yang Mulia, gajah ini amat galak dan
liar, ia dapat membunuh orang, seperti nyala api pada permulaan suatu
lingkaran. Biarkanlah ia membunuh saya terlebih dahulu dan sesudah itu
ia baru dapat menghampiri Yang Mulia.”
Yang Mulia Ananda memohon tiga kali, dan Beliau tetap berdiri di
depan Sang Tathagata, Beliau tidak mau mundur. Kemudian Sang Buddha
dengan kekuatan kesaktianNya membuat Yang Mulia Ananda berada di
belakang Beliau dan menempatkanNya di tengah-tengah para bhikkhu yang
tengah berkerumun.
Pada waktu itu ada seorang ibu, terlihat oleh pandangan gajah
Nalagiri, ibu itu amat ketakutan, ia ingin berlari karena ketakutan,
tetapi anaknya terjatuh ketika ia ingin menggendong anak itu di
pinggangnya. Posisinya berada di antara Sang Tathagata dan gajah
Nalagiri, ibu itu berusaha berlari. Gajah itu mengejar ibu tersebut, ibu
tersebut terpaku berdiri di tempatnya dengan amat ketakutan bersama
anaknya yang menjerit sekeras-kerasnya.
Sang Buddha dengan penuh cinta kasih yang terpancar dengan kuatnya (odissakametta)
dan dengan suaraNya yang penuh kelembutan seperti suara Dewa Brahma,
memanggil Nalagiri : “Hoi..! Nalagiri…! Siapa yang membuatmu menjadi
gila dengan enam belas guci minuman keras? Kamu tidak diperintahkan
untuk menyerang orang lain, tetapi diarahkan untuk menyerangKu. Jangan
keluarkan kekuatanmu dengan merusak tanpa tujuan, datanglah kepadaku.”
Mendengar suara Sang Buddha, Nalagiri membuka matanya dan melihat
tubuh Sang Buddha yang bersinar terang. Ia menjadi gelisah dan dengan
kekuatan cinta kasih Sang Buddha yang amat besar, maka pengaruh minuman
keras yang amat kuat itupun hilang seketika. Dengan menurunkan
belalainya dan mengoyang-goyangkan kupingnya ia mendatangi dan berlutut
di kaki Sang Tathagata. Kemudian Sang Tathagata berkata : “Nalagiri,
engkau adalah gajah jahat, Aku adalah Gajah Buddha, tidak jahat dan
liar, tidak membunuh manusia, tetap mengembangkan cinta kasih.”
Sambil berkata demikian Sang Tathagata lalu mengulurkan tangan
kananNya dan mengelus-elus kepala gajah itu dan mengajarkan Dhamma
kepadanya dengan bersabda :
“Jangan menyerang Sang Buddha, O, gajah..! Dengan pikiran akan melukaiNya, akan membuatmu menderita. Pembunuh seorang Buddha tidak akan memperoleh alam kehidupan yang baik setelah kematiannya.”
“Jangan menyerang Sang Buddha, O, gajah..! Dengan pikiran akan melukaiNya, akan membuatmu menderita. Pembunuh seorang Buddha tidak akan memperoleh alam kehidupan yang baik setelah kematiannya.”
“Bebaskanlah dirimu dari mabuk-mabukkan dan melakukan perbuatan
bodoh. Karena mereka yang bodoh tidak akan dapat pergi ke alam yang
baik. Kamu harus melakukan perbuatan baik sehingga kamu dapat menuju ke
alam bahagia.”
Seluruh badan gajah itu bergetar karena diliputi oleh kebahagiaan
yang amat besar, dan ia sekarang bukan hanya binatang berkaki empat
biasa lagi, tetapi ia telah mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapanna).
Penduduk yang melihat keajaiban ini berseru dengan gembira dan
bertepuk tangan dengan riang. Dengan penuh kebahagiaan, mereka menutupi
badan gajah itu dengan hiasan-hiasan. Kemudian Nalagiri terkenal dengan
nama Dhanapalaka (pemilik kekayaan) dan ia menjadi amat jinak dan tidak
menyakiti siapapun.
Setelah Sang Buddha memperlihatkan keajaiban ini, Beliau berpikir
adalah tidak patut untuk mencari dana di tempat yang sama. Sesudah
mengalahkan para pertapa tersebut, dengan diiringi oleh murid-muridNya,
Beliau melangkah menuju ke kota seperti orang yang telah memenangkan
suatu pertempuran dan pulang kembali ke Vihara Jetavana. Para penduduk
menuju Vihara Jetavana, berdana makanan berupa nasi, minuman dan makanan
enak lainnya kepada Sang Guru Agung beserta murid-muridNya. Penduduk
kota itu telah menanam kebajikan yang besar sekali.
Kisah Sang Buddha yang sangat menyentuh perasaan ini, paling tidak,
bisa ditinjau dari dua sisi. Pertama, bahwa kekuatan cinta kasih yang
dimiliki oleh Sang Buddha dapat mengatasi kemarahan seekor gajah. Oleh
karena itu, para umat dan simpatisan Buddhis yang biasa menghormat Buddharupang,
hendaknya ia dalam kehidupan sehari-hari selalu berusaha meniru
perilaku penuh kasih Sang Buddha dengan mengembangkan pikiran, ucapan
dan perilaku cinta kasih kepada semua makhluk yang berada di sekitarnya.
Ia haruslah selalu berusaha menyelesaikan setiap permasalahan yang
dihadapi tanpa menggunakan kekerasan sehingga dapat membawa kebahagiaan
untuk semua fihak. Jangan karena kemarahan maupun kebencian, ia
mengharapkan fihak lain menderita. Sesungguhnya, hanya cinta kasih yang
selalu dapat mengalahkan kebencian. Bahkan, sedemikian cinta kasih Sang
Buddha kepada semua makhluk, sehingga dalam kisah di atas dapat
diketahui bahwa Beliau juga berkenan menolong ibu yang sangat ketakutan
saat ia dan anaknya terjebak di tengah kemarahan gajah tersebut.
Hal kedua yang layak diteladani dari kisah di atas adalah kesetiaan
para murid Sang Buddha yang terdiri dari para umat maupun bhikkhu.
Mereka semua rela mengorbankan diri demi keselamatan dan kesejahteraan
Sang Buddha. Kerelaan dan kesetiaan seperti inilah yang hendaknya para
umat serta simpatisan Buddhis mampu latih dan lakukan untuk sesama
mahluk di sekitarnya, khususnya kepada mereka yang dicintai. Dengan
banyak mengembangkan kesetiaan serta kerelaan, seseorang sesungguhnya
termasuk telah menanam kebajikan. Kebajikan semacam inilah yang nantinya
akan dapat menghasilkan kebahagiaan bagi dirinya sesuai dengan harapan
yang ia miliki.
Kisah hidup Sang Buddha Gotama yang sedemikian mengesankan inilah
yang kemudian menjadi salah satu penyebab para umat maupun simpatisan
Buddhis sering menempatkan Buddharupang di altar dan menghormatinya dengan merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada maupun bersujud.
Namun, kiranya para umat maupun simpatisan Buddhis tidak hanya cukup sampai pada penghormatan terhadap Buddharupang
saja, melainkan ia juga harus selalu berusaha meneladani serta
melaksanakan Ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Salah
satunya perilaku baik yang layak diteladani adalah dengan mengembangkan
cinta kasih ketika menghadapi permusuhan maupun kebencian. Jangan karena
marah dan benci mengharap fihak lain menderita atau celaka.
Sesungguhnya, kebencian hanya akan berakhir dengan pengembangan pikiran
dan perilaku penuh cinta kasih.
Seorang umat Buddha yang baik, sudah seharusnya semakin lama ia
mengenal Ajaran Sang Buddha, semakin sering pula ia melaksanakan
pengembangan cinta kasih dan tidak lagi mengharapkan para musuh dan
mereka yang dibenci mendapat penderitaan maupun kesulitan. Ia hanya
mengharapkan semua makhluk hidup yang menyenangkan maupun yang tidak
menyenangkan selalu mendapatkan kebahagiaan, kedamaian serta terbebas
dari permusuhan maupun kecemasan.
Apabila perilaku penuh cinta kasih ini dapat selalu dilaksanakan oleh
para umat dan simpatisan Buddhis dalam kehidupan sehari-hari, maka
perilaku baik ini akan mengkondisikan munculnya kedamaian, ketenangan
dan kebahagiaan dalam hidup bersama dalam masyarakat.
Semoga uraian tentang salah satu perilaku baik Sang Buddha ini dapat
mendorong semangat para umat dan simpatisan Buddhis untuk terus berusaha
memperbaiki perilaku, ucapan dan cara berpikirnya agar semakin lama
mengenal Dhamma, semakin baik pula perilakunya.
Semoga semua makhluk selalu hidup berbahagia, bebas dari kebencian dan permusuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar