Menurut sang Buddha,
bahwa sifat segala sesuatu adalah terus berubah (anicca). Begitu pula
dengan sifat alam.Alam bersifat dinamis dan kinetik, selalu berproses dengan seimbang. Unsur-unsur alam
yang tampak dalam pandangan Buddha ada empat, yakni unsur padat (pathavi), cair
(apo), panas (tejo), gerak (vayo).
Hukum yang berlaku pada alam
(alam semesta) dapat dikategorikan dalam lima aturan yang disebut pancaniyamadhamma, yaitu utuniyama (hukumfisika), bijaniyama
(hukumbiologi), cittaniyama (hukumpsikologis), kammaniyama (hukum moral),
dhammaniyama (hukumkausalitas)
Menurut ajaran
budha, seluruh alam ini adalah cipataan yang timbul dari sebab-sebab yang
mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu ia disebut sankhata dharmayang
berarti ada, yang tidak mutlak dan mempunyai corak timbul, lenyap dan berubah.
Sinonim dengan kata sankhata adalah sankhara yaitu saling bergantungan, sesuatu
yang timbul dari sebab yang mendahuluinya. Alam semesta adalah suatu proses
kenyataan yang selalu dalam keadaan menjadi. Hakikat kenyataan itu adalah harus
perubahan dari suatu keadaan menjadi keadaan lain yang berurutan. Karena itu,
alam semesta adalah sankhara yang bersifat tidak kekal (anicca atau anitya),
selalu dalam perubahan (dukkha) dan bukan jiwa (atta atau atman), tidak
mengandung suatu substansi yang tidak bersyarat.Dalam visudha Maga 2204, loka
tersebut digolong-golongkan atas sankharaloka, sattaloka, dan okasaloka.
KonsepTentangManusia
Dalam ajaran
agama Buddha, manusia menempati kedudukan yang khusus dan tampak memberi corak
yang dominan pada hampir seluruh ajarannya. Kenyataan yang dihadapi manusia
dalam hidup sehari-hari merupakan titik tolak dan dasar dari seluruh ajaran Buddha.
Hal ini dibicarakan dalam ajaran yang disebut tilakhana (Tiga corak umum agama
Buddha), catur arya satyani (empat kesunyataan mulia), hukum karma (hukum
perbuatan), dan tumimbal lahir (kelahiran kembali).
Manusia, menurut
ajaran Buddha, adalah kumpulan dari energi fisik dan mental yang selalu dalam
keadaan bergerak, yang disebut Pancakhanda atau lima kelompok kegemaran yaitu
rupakhanda (jasmani), vedanakhanda (pencerahan), sannakhandha (pencerapan),
shankharakhandha (bentuk-bentuk pikiran), dan vinnanakhandha (kesadaran) .
Kelima kelompok tersebut saling berkaitan dan bergantung satu sama lain dalam
proses berangkai, kesadaran ada karena adanya pikiran, pikiran timbul
disebabkan adanya penyerapan, penyerapan tercipta karena adanya perasaan, dan
perasaan timbul karena adanya wujud atau Rupa. Kelima khanda tersebut juga
sering diringkas menjadi dua yaitu: nama dan rupa. Nama adalah kumpulan dari
perasaan, pikiran, penyerapan dan perasaan yang dapat digolongkan sebagai unsur
rohaniah, sedang Rupa adalah badan jasmani yang terdiri dari empat unsur materi
yaitu unsur tanah, air, api, dan udara atau hawa.
Dalam agama
Buddhis manusia terikat oleh 5 kelompok ikatan Skanda (panca skanda) yang
terdiri dari rupa (bentuk jasmani), vedanna (perasaan), sanna (pencerapan,
penginderaan), sankhara (bentuk pikiran), vinnana (kesadaran).
Tujuan akhir
manusia adalah mencapai pencerahan atau Nibbana, dengan tercapainya nibbana
tidak ada lagi keinginan yang diharapkan oleh manusia, tak ada harapan apapun,
tidak lagi memikirkan akan kelangsungan dirinya. Dengan mencapai tahap ini
manusia sudah tidak lagi memiliki keinginan, nafsu-nafsu kotor, sudah lepas
dari segala ikatan dunia dan ikatan kamma itu sendiri.
Manusia memiliki
potensi yang tak terbatas. Dimana potensi trersebut banyak tidak dipergunakan
oleh manusia. Selama manusia tidak menyadari potensi yang dimilikinya, makan
akan sulitlah bagi manusia untuk mencapai tujuan akhir umat Buddha yaitu
Nibbana (kebahagian tertinggi). Nibbana adalah suatu “keadaan”, seperti diajarkan
oleh sang Buddha, Nibbana adalah keadaan yang pasti setelah keinginan lenyap.
Api menjadi padam karena kehabisan bahan bakar. Nibbana adalah padamnya
keinginan, ikatan-ikatan, nafsu-nafsu, kekotoran-kekotoran batin. Dengan
demikian Nibbana adalah kesunyataan abadi, tidak dilahirkan (na uppado-
pannayati), tidak termusnah (na vayo-pannayati), ada dan tidak berubah
(nathitassannahattan-pannayati). Nibbana disebut juga asankhata-dhamma (keadaan
tanpa syarat, tidak berkondisi). Dalam Paramathadi panitika disebutkan Natthi
Vanam Etthani Nibbanam (keadaan yang tenang yang timbul dengan terbebasnya dari
tanha/keinginan rendah disebut Nibbana).
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
untuk mencapai nibbana yaitu:
1. Kita
harus menyadari bahwa umat manusia memiliki potensi tidak terbatas. Kalau
manusia diartikan sebagai mahkluk lemah dan tidak berdaya yang terus menerus
terombang-ambing oleh aliran takdir maka tidak ada kemungkinan mencapai
nibbana. Ajaran Buddha menyadari sepenuhnya kaebaikan manusia yang tidak terbatas.
2. Adanya
dorongan yang kuat dari dalam batin untuk mencapai nibbana. Keinginan yang kuat
bukanlah berasal dari luar. Kesadaran akan pentingnya keinginan untuk mencapai
nibbna ini sangat penting. Nibbana adalah tanggung jawab seklaigus hak.
3. Harus
ada kesadaran apabila umat manusia akan mendapatkan hasil kalau dia berusha
terlebih dahulu. Ini berarti kalau anda telah menebar benih, maka anda berhak
menuai hasilnya.
Dari tiga hal diatas dapat diambil
kesimpulan untuk mencapai nibbana manusia harus memenuhi tiga syarat yaitu
menyadari ketidakterbatasan potensi manusia, memiliki keinginan untuk mencapai
nibbana dan langsung berusaha mewujudkan keinginan tersebut, dan meyakini bahwa
di dunia spiritual tetap berlaku hukum sebab-akibat. Jika anda menabur benih
dan berusaha memeliharanya agar tumbuh dengan baik, pasti benih itu akan
mendatan
PATICCA-SAMUPPADA
Bunyi hukum paticca-samuppada
Perkataan paticcasamuppada terdiri atas
Paticca artinya disyaratkan dan kata Samuppada artinya muncul bersamaan. Jadi paticca-samuppada artinya mucul bersamaan
karena syarat berantai, atau pokok permulaan sebab akibat yang saling
bergantungan.
Prinsip dari ajaran hukum
paticcasamuppada diberikan dalam empat rumus pendekgkan hasil.
ETIKA
(CATUR PARAMITA DAN CATUR MARA)
a. Catur
Paramita
Di dalam diri
manusia terdapat sifat-sifat Ketuhanan yang di sebut paramita yaitu dalam
bathinnya merupakan segala sumber dari perbuatan baik (kusalakamma) yang
tercetus pada pikiran, ucapan dan badan. Karena itu kita harus bias mengembangkan
paramita itu. Demi kebahagiaan, ketenangan dan kegembiraan hidup kita.
b. Catur
Mara
Disamping adanya sifat-sifat ketuhanan,
terdapat pula sifat-sifat setan/ jahat (marra) dalam bathin manusia dan ini
merupakan sumber dari perbuatan buruk (akusalakamma) yang tercetus pada
pikiran, ucapan dan badan. Karena itu kita harus dapat melenyapkannya agar
hidup kita tidak terus-menerus di dalam kesengsaraan dan penderitaan yang tiada
henti-hentinya.
Pikiran Baik,
Jahat dan Akibatnya
Tersebutlah kata-kata yang diucapkan
oleh YMS Buddha Gotama dalam kitab Dhammapada, yaitu bagian kecil dari
Suta-Pittaka yang berbunyi sebagai berikut :
Ayat 1 : segala sesuatu adalah hasil dari pada
apa yang telah dipikirkan, berdasarkan pikiran dan dibentuk oleh pikiran. Bila
seseorang berbicara atau bertidak dengan pikiran yang jahat, maka penderitaan
akan mengikutinya seperti roda-pedati yang mengikuti jejak kaki lembu yang
menariknya.
Ayat 2 : segala sesuatu adalah hasil dari pada
apa yang telah dipikirkan, berdasarkan pikiran dan dibentuk oleh pikiran. Bila
seseorang berbicara atau bertidak dengan pikiran yang baik, maka kebahagiaan
akan mengikutinya seperti bayangan yang tidak pernah meninggalkan dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar