FILSAFAT ILMU PENGETAHUANNYA
BUDDHISME
Oleh :
GERALD DU PRE
Psychologi, atau Ilmu Jiwa, itu tidak hanya merupakan studi khusus mengenai bidang pengetahuan tertentu saja, tetapi juga membicarakan beberapa hal tentang sifat pengetahuan itu sendiri. Sama seperti itu, Filsafat Mahayana itu tidak hanya merupakan studi khusus mengenai filsafatnya Buddhisme saja, tetapi juga membicarakan filsafat pengetahuan secara umum.
Saya akan membahas Filsafat Pengetahuan (= Philosophy of Knowledge)-nya Buddhisme disini, khususnya mengenai Madhyamika atau Ajaran Jalan Tengah (= Middle Doctrine), dan akan menyampaikan argumentasi saya bahwa itu didalam realitasnya merupakan Filsafat Ilmu Pengetahuan (= Philosophy of Science) yang bersifat revolusioner.
Telah diketahui dengan baik bahwa Buddhisme itu mengenal kasunyataan empiris, – yaitu yang dinamai samvrti-satya, atau kasunyataan relative dari Aliran Madhyamika. Seperti para sarjana, umat Buddha juga menghargai penggunaan secara ketat logika dan definisi yang tepat dari istilah-istilah. Didalam Buddhisme, sama seperti pada Ilmu Pengetahuan, theori itu didasarkan pada observasi dan praktek. Umat Buddha, seperti para sarjana, juga menentang dogma, dan tidak memiliki naskah-naskah suci yang dihormati seperti terhadap authoritas-authoritas yang paling tinggi. Mereka mempercayai kebebasan bertanya dan toleransi, serta secara terus menerus mengingatkan, seperti sikap Newton, untuk menentang metaphysika.
Tetapi, saya dapat mendengar bantahan-bantahan, baik dari umat Buddha, maupun dari para sarjana. Lebih penting dari semuanya, adalah bahwa filsafat Madhyamika itu meng-claim bahwa kasunyataan yang relative itu didasarkan pada sunyata, suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan paramartha-satya atau kasunyataan yang paling tinggi (= ultimate truth), yang dikatakan sebagai diluar definisi. Jadi, tampaknya, Buddhisme itu berpegang teguh pada pandangan yang religious, yaitu berpendapat bahwa ilmu pengetahuan itu membicarakan pengetahuan tentang dunia material, tetapi Buddhisme juga berpendapat bahwa dunia ini didasarkan pada sesuatu yang bersifat immaterial, tidak bersifat material -, yang keadaannya lebih riil dari keadaan riilnya dunia yang nampak ini.
Memang banyak umat Buddha yang mengatakan bahwa sunyata itu mewakili kasunyataan spiritual (= spiritual truth), yang keadaannya sangat berbeda dari kasunyataan material-nya ilmu pengetahuan. Terhadap pandangan yang demikian ini, banyak para sarjana yang menjawab bahwa filsafat Madhyamika, dengan meng-claim adanya eksistensi kasunyataan yang paling tinggi, tetapi menolak menerangkan apa sesungguhnya yang dimaksud dengan kasunyataan yang paling tinggi itu, berarti mengaburkan keseluruhan pengertian tentang pengetahuan, dan berpendapat bahwa filsafat mereka itu paling tidak bernilai, dan bahkan bersifat destruktif.
Itu di mata para sarjana jelas nampak keadaannya seperti Agama Kristen yang berpakaian baju Dunia Timur. Di Dunia Barat, para ahli theologi Kristen yang hidup di Abad Pertengahan percaya bahwa dunia spiritual, dunia surga, itu tidak dapat dilihat, namun keadaannya lebih riil dari pada dunia yang dapat kita lihat ini. Mereka mengecilkan arti pengalaman keindriaan, dengan mengatakan bahwa pengalaman keindriaan itu merupakan sumber illusi, atau kepalsuan, dan kesalahan. Kemudian, para filsuf metaphysis berpegang teguh pada hakekat pandangan yang sama seperti tersebut dimuka tadi. Para ahli filsafat pengetahuan dari Dunia Barat setuju terhadap pandangan bahwa salah satu innovasi, atau pembaharuan, dari ilmu pengetahuan, yang besar, adalah ide yang mengatakan bahwa pengalaman keindriaan, – suatu pengalaman yang diperoleh ketika organ-organ indria berkontak dengan object -, itu menjadi basis pengetahuan. Spekulasi atau dogma tentang dunia-dunia, atau alam-alam, diluar pengalaman keindiriaan, itu bersifat metaphysis, yang dapat benar, tetapi juga dapat tidak benar.
Buddhisme itu, saya yakini, tidak memajukan, atau mendukung pandangan tentang kasunyataan, dari Agama Kristen, yang demikian itu. Di Tanah Air Pangeran Siddhartha, yaitu India, disitu doktrin-doktrin religi-nya adalah apa yang sekarang dinamai Hinduisme. Hinduisme mempunyai filsafat pengetahuan yang sangat mirip dengan pandangan tersebut diatas, yang lalu dirumuskan oleh Agama Kristen. Sama seperti pandangan Agama Kristen, Hinduisme percaya bahwa pengalaman keindriaan itu bersifat illusi, bersifat palsu, dan dipercayai pula bahwa yang riil, adalah Ke-Aku-an yang tidak tampak (= invisible Self), yang berada dibelakang dunia yang tampak ini.
Semua Umat Buddha mengetahui betapa gigihnya Pangeran Siddhartha menolak pandangan pengetahuan dari Hinduisme, dengan mengemukakan doktrin dasar dari Buddhisme, yang dinamai Anatta. Sang Buddha menolak dunia metaphysis atau dunia religious-nya Hinduisme, yang diterangkan sebagai diluar pengalaman keindriaan; dan yang berpendapat bahwa dunia tersebut lebih rill dari pengalaman keindriaan. Sang Buddha telah mengemukakan doktrinnya tentang Sunyata, atau Kekosongan (= Emptiness), sebagai jawaban yang radikal terhadap pandangan Hinduisme, dan beberapa jawaban yang radikal terhadap pandangan Hinduisme, dan beberapa abad kemudian para filsuf Madhyamika telah mempertahankan pandangan tersebut sebagai yang sama dengan istilah Tathata. 1. Jadi, Pangeran Siddhartha, dan kemudian para filsuf Madhyamika telah mengemukakan secara berulang-ulang bahwa sunyata itu tidak merupakan dunia yang bersifat metaphysis, tidak mysterious, atau kabur, dan bukan merupakan sesuatu pengertian atau konsep yang sama sekali abstrak. Jadi, itu tidak bersifat spiritual, didalam arti kata yang metaphysis atau abstrak.
“Seorang yang telah memperoleh Kemenangan atas ketidaktahuan, pernah mengatakan bahwa kekosongan itu adalah mirip sesuatu penghapus semua pandangan-pandangan; tetapi orang-orang yang telah memperoleh kekosongan itu, lalu memiliki pandangan-terang, yang tak dapat dilenyapkan dari alam fikirannya.” 2.
Sunyata itu diterangkan sebagai keadaan tidak terdapatnya segala sesuatu, tetapi juga bukan keadaan yang hampa dari sesuatu. Sunyata itu bukan suatu eternalisme, atau keadaan yang abadi, namun juga bukan merupakan essensi yang selalu ada, yang terdapat dibelakang semua phenomena, atau gejala-gejala, dan pula bukan suatu nihilisme. Sunyata, berarti kekosongan (= emptiness), dan diterangkan bersifat kosong, suatu kekosongan yang sempurna. Apa yang dapat diterangkan lebih lanjut mengenai keadaan yang kosong itu?
Saya percaya bahwa bagi umat Buddha, terutama dari aliran Madyamika, filsafat pengetahuan (= philosophy of knowledge) itu adalah filsafat ilmu pengetahuan (= philosophy of science), karena saya percaya bahwa sunyata itu menunjuk kepada pengalaman, suatu pengalaman aktual itu sendiri – (= actual experience itself).
Sunyata itu berkeadaan rill, merupakan keadaan tidak terdapatnya sesuatu, namun bukan keadaan yang hampa dari sesuatu; berkeadaan jelas dan dapat dihayati secara langsung, namun tidak mungkin dapat kita tangkap pengertiannya sepenuhnya dengan fikiran kita; merupakan sesuatu yang semua sifat-sifatnya dapat disebutkan, namun hanya melalui pengalaman yang aktual sajalah kemungkinannya sunyata itu dapat ditunjukkan ciri-cirinya. Hanya dalam arti yang demikian itu filsafat Mahayana dapat mengungkapkan arti sunyata, dan yang harus dirasakan, atau dihayati sendiri oleh orang yang ingin mengetahui makna sunyata itu. Pangeran Siddhartha sendiri dengan jelas mendasarkan ajarannya atas pengalaman, dan Buddhisme secara keseluruhan itu membicarakan pengalaman. Aliran Yogacara dan Vijnanavada, dari Buddhisme, itu secara khusus mengidentifikasi sunyata dengan pengalaman.
Namun, sunyata itu bukan berarti suatu konsep tentang “pengalaman”, seperti yang disarankan oleh aliran Yogacara dan Vijnanavada. Sunyata itu berarti kekosongan (= voidness = emptiness), yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah keadaan kosong dari sesuatu konsep.
Sunyata itu menunjukkan pengalaman yang aktual itu sendiri,- suatu pengalaman yang sifatnya langsung atas penglihatan, pendengaran, pencecapan, penciuman, perabaan, dan fikiran yang konseptual. Jadi, sunyata itu ada disini, ada sekarang ini, merupakan pengalaman yang aktual atas kata-kata yang terdapat didalam halaman buku ini, atas cahaya yang terdapat di kamar ini, atas penghayatan bahwa kita sedang duduk di atas kursi ini, atas kicau burung yang ada diluar kamar kita itu. Untuk menunjukkan counteraksi-nya dari kesan negatifnya, yang diberikan oleh istilah sunyata, pengalaman yang aktual ini juga ditunjukkan oleh istilah partner-nya, yaitu istilah tathata, atau kesedemikianan (= thusness = suchness = thatness). Istilah tathata, menunjukkan pengalaman yang aktual yang secara sederhana diungkapkan dengan berkata “itu” (= that”), seperti yang dilakukan seseorang yang sedang menunjukkan sebuah kamar, dengan lambaian tangannya.
Oleh karena sunyata itu menunjukkan pengalaman yang aktual, dan lalu Pangeran Siddhartha mengajarkan pandangan yang ilmiah tentang pengalaman, – yaitu dengan mengatakan bahwa yang dinamai pengalaman itu adalah sesuatu yang dapat dilihat dan dapat didengar secara langsung -, maka pengalaman itu lalu menjadi authoritas yang paling tinggi. Hal yang demikian itu menjadikan Sang Buddha merupakan filsuf bidang filsafat ilmu pengetahuan yang pertama di dunia. Ketika Nagarjuna berkata bahwa kasunyataan yang relative itu berdasarkan pada sunyata, beliau berarti mengatakan bahwa theori ilmu pengetahuannya didasarkan pada pengalaman yang langsung, – dan keterangan yang demikian ini secara tepat, dapat kita katakan uraiannya merupakan filsafat ilmu pengetahuan, didalam wujud intisarinya, atau didalam kalimat yang ringkas.
Lalu, mengapa Pangeran Siddharta dan Nagarjuna, keduanya menolak mengatakan secara tepat, tentang apa yang beliau maksudkan dengan istilah sunyata itu? Itu akan tidak banyak menimbulkan problema, apabila diartikan sebagai hanya berupa pengalaman keindriaan (= sense experience). Ketika para filsuf bidang filsafat ilmu pengetahuan, dari Dunia Barat, berbicara tentang pengalaman, yang mereka maksudkan adalah pengalaman keindriaan. Tetapi para ahli ilmu jiwa mempergunakan istilah tersebut dalam arti yang luas. Mereka sadar bahwa emosi itu merupakan bagian dari pengalaman, bahwa kata-kata dan angka-angka, serta konsep-konsep itu juga merupakan bagian dari pengalaman. Pangeran Siddhartha, seorang psychologi, atau ahli ilmu jiwa, yang ilmiah, itu memahami pengalaman didalam arti yang luas, seperti yang dimaksudkan oleh para ahli ilmu jiwa.
Sang Buddha itu memanglah pandangannya tentang pengalaman bersifat inklusif, – yaitu suatu pandangan yang tidak hanya logis, tetapi juga berdasarkan pengetahuan yang diperoleh secara langsung, karena beliau telah mencapai Penerangan Sempurna (= Enlightenment = Kesadaran Nirvana). Kalau orang tidak begitu mengalami kesukaran didalam memahami apa yang dimaksud dengan “pengalaman yang aktual”, maka orang mengalami kesukaran jika akan memahami pengertian “pengalaman yang total”, dan mudah mengalami kesalahpengertian terhadap suatu posisi philosophis, misalnya idealisme. Pangeran Siddhartha mengetahui bahwa para penganutnya akan mudah mengalami kesalah-pengertian seperti yang dimaksudkan diatas itu.
“demikianlah… yang akan dialami oleh anda
anda sekalian, di masa-masa yang akan datang. Suttanta-Suttanta yang diucapkan oleh Sang Tathagata, itu begitu dalam, begitu sangat dalam maknanya, sehingga apabila dikemukakan mengenai pengertian dunia, dan pengertian kekosongan, dengan kalimat yang biasa, mereka tidak akan mau mendengarkannya. Tetapi apabila Suttanta-Suttantanya diungkapkan didalam bentuk syair… dengan beraneka ragam kata-kata yang indah-indah, dengan aneka ragam ungkapan-ungkapan… maka mereka akan mau mendengarkannya.” 3
Pengalaman yang demikian sifatnya itu, tidak dapat didefinisikan,
karena semuanya ada didalam lingkupnya dan semua konsep
dan definisi-definisi itu telah ada didalamnya. Tidak
ada sesuatu yang dapat diperbandingkan dan
dipertentangkannya. Untuk menamai pengalaman yang
demikian itu akan membuatnya menjadi pengertian yang
bersifat metaphysis, dan lalu dengan cepat akan mencemarkannya
menjadi suatu ide tentang essensi atau substrasi yang berada
dibelakang atau dibawah pengalaman yang aktual. Atas
dasar ini Candrakirti menamakannya vijnana
(= kesadaran atau pengalaman), yang sejenis seperti
pengertian Atman atau Ke-Aku-an menurut faham Hindu
(Hindu Self) didalam bentuk yang terselubung. 4. Juga :
“Apabila terdapat beberapa hal yang bersifat tidak-kosong (= non-empty), tentu juga terdapat beberapa hal yang diistilahkan sebagai kosong (= empty); lalu apabila tidak terdapat sesuatu yang sifatnya tidak-kosong, lalu dimana mungkinnya terdapat sesuatu yang sifatnya kosong?.” 5.
Dan dengan demikian, baik Pangeran Siddhartha, maupun Nagarjuna,
tidak mengatakan bahwa sunyata itu dapat ditunjukkan,
tetapi hanya menyarankan agar orang mempelajari
therapy meditasi menurut Buddhisme, yang memungkinkan
sang meditator dapat memahami pengalaman total,
secara langsung.
Dalam memberikan argumentasinya dari titik-kedudukan bahwa
kasunyataan yang bersifat absolut dan yang paling hakiki itu
hanyalah pengalaman itu sendiri, lalu Nagarjuna
mengsistematisir ajaran Pangeran Siddhartha, dan
kemudian mengatakan bahwa semua kata-kata, semua
lambang-lambang, semua konsep-konsep itu hanya dapat
membahas kasunyataan didalam sifatnya yang relative atau
empiris saja.
Para sarjana menerima secara keseluruhan pembatasan atas
lambang-lambang itu, dan sangat menyadari bahwa
kasunyataan yang paling tinggi, yang dapat mereka
harapkan untuk diperoleh adalah kasunyataan yang
bersifat relative. Mereka mengetahui bahwa penggunaan dari
sesuatu kata yang bersifat deskriptif itu bersifat relative
hubungannya dengan pengalaman yang sedang diuraikan, dan
bahwa arti dari sesuatu bagian dari suatu theori itu
bersifat relative hubungannya dengan arti
bagian-bagian yang lainnya. Theori-theori itu adalah
merupakan model-model symbolis atau konseptual, dan
tetap disesuaikan dengan keterangan dari informasi baru, yang
diperoleh dari observasi, serta tetap selalu dinilai
kebenarannya atas dasar theori-theori lainnya.
Sebaliknya, observasi itu dapat menumbangkan
keseluruhan theori dan dapat melahirkan theori yang
baru. Para sarjana itu, salah satu tugasnya adalah menyusun
model-model dunia. Mereka tidak pernah mempergunakan kata-kata
yang sifatnya sama sekali bersifat absolut atau paling
hakiki.
Oleh karena itu, Buddhisme itu tidak mengadakan argumentasi,
tidak memiliki pertentangan, dengan ilmu pengetahuan. Baik
Buddhisme, maupun ilmu pengetahuan, itu tidak
mendewakan konsep-konsep. Keduanya memandang
angka-angka dan kata-kata serta logika sebagai
alat-alat yang berguna untuk melaksanakan tugas-tugas yang penting,
tidak memperlakukannya sebagai tujuan itu sendiri. Jadi,
umat Buddha itu menerima validitasnya ilmu
pengetahuan, dan apabila mereka bersaing dengan
sesuatu hypothesa ilmiah, mereka melakukannya
berdasarkan landasan empiris.
Ilmu pengetahuan Dunia Barat itu tidak hanya merupakan kasunyataan
yang relative; itu juga merupakan suatu sistem yang
sehat, atau baik, yang mencakup segala sesuatu, dan
yang paling sukses, dari kasunyataan yang bersifat
relative, yang pernah diperkembangkan oleh Manusia.
Itu merupakan suatu kesatuan, telah distandardisasi,
bersifat akkumulatif, dan tersebar luas di dunia. Buddhisme
itu dapat memperoleh keuntungan dari sistem kasunyataan relative
yang demikian itu, – suatu kasunyataan relative yang
berasal dari penyelidikan yang bebas, yang berakar
pada sekumpulan theori yang bersifat empiris dan
akkumulatif. Buddhisme mengkritik loncatan yang tak
berdisiplin dari satu fakta ke fakta yang lainnya (vicikiccha).
Ilmu pengetahuan Dunia Barat dapat menolong
Buddhisme untuk menyatukan dan mengsistematisir
dharmanya dan menghubungkannya dengan secara berhasil dengan
sekumpulan theori ilmiahnya Dunia Barat.
Para filsuf bidang filsafat ilmu pengetahuan dari Dunia Barat
mungkin telah bersiap-siap untuk menyetujui pendapat bahwa
Buddhisme telah memajukan filsafat ilmu pengetahuan,
seperti yang argumentasinya telah saya kemukakan
dimuka tadi. Tetapi mereka mungkin berkeadaan sangat
ragu-ragu tentang yang dilakukan oleh buddhisme dengan
istilah Kasunyataan yang bersifat hakiki atau yang paling tinggi
(= Ultimate Truth), yang akan disumbangkan oleh Buddhisme
terhadap ilmu pengetahuan itu. Didalam keinginan
mereka untuk menggaris bawahi bahwa ilmu pengetahuan
itu hanya membicarakan kasunyataan yang relative,
mereka (para sarjana, para ahli ilmu pengetahuan) itu
telah memisahkan, atau mengeluarkan dari lingkupnya, semua
yang absolut dan yang hakiki, dari filsafat mereka. Mungkin
mereka merasa bahwa filsafat ilmu pengetahuan-nya
Madhyamika itu dengan menggaris bawahi pengalaman
yang total, dan kurang begitu menghargai pengalaman
keindriaan, serta menamakan itu sebagai kasunyataan
yang absolut, berkeadaan jauh dari bersifat
revolusioner; hal yang demikian itu dikatakan sebagai bersifat
“mystic” yang tidak usah dikemukakan, karena kurang
perlu, dan bersifat kabur. Tetapi kita dapat mengatakan bahwa
mereka berkata secara tepat, apabila mereka mengatakan
bahwa pengalaman yang total itu merupakan
satu-satunya kasunyataan yang absolut, atau yang
hakiki, dan filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme
itu bersifat begitu revolusioner.
Pertama, dengan mengemukakan perlunya dimiliki pandangan bahwa
filsafat ilmu pengetahuan yang sempurna itu hendaklah
memiliki kasunyataan yang hakiki atau yang paling
tinggi, dan kasunyataan yang relative, dapat mencegah
filsafat ilmu pengetahuan terpecah, menjadi ilmu
pengetahuan yang bersifat “material” di satu fihak,
dan religi yang bersifat “spiritual” dan philosophi
metaphysis, di fihak satunya lagi. Pandangan filsafat
ilmu pengetahuan, yang sempurna, hendaklah memiliki
kedua aspek tersebut diatas.
Karena keterpecahan yang demikian itu benar-benar telah terjadi
di Dunia Barat, maka kita telah mengalami penderitaan
tentang dualisme itu, hingga sekarang ini. Di Dunia
Barat itu perkembangan filsafat ilmu pengetahuan
berjalan secara sangat lambat. Ilmu pengetahuan itu
secara setingkat demi setingkat memperbedakan dirinya
dari pandangan yang bersifat religious atau metaphysis
mengenai kasunyataan dan pengetahuan, tetapi tidak perlu menyerang
pandangan tersebut. Banyak sarjana-sarjana yang juga
telah menerima kasunyataan religious tersebut, dan
beberapa lainnya tetap melanjutkan bersikap demikian,
bahkan hingga sekarang. Pandangan yang secara
setingkat demi setingkat muncul, adalah bahwa ilmu pengetahuan
itu membicarakan sejenis kasunyataan, yang bersifat praktis,
dan menyangkut masalah sehari-hari, yang membicarakan
bekerjanya dunia material, sedang religi, filsafat
metaphysis, syair-syair, seni dan musik, itu
membicarakan kasunyataan yang tidak terikat waktu,
yang membicarakan dunia rohani.
Sebagai hasilnya, maka ilmu pengetahuan itu telah memperoleh
reputasi yang diberi cap berkeadaan dangkal, dan bersifat
tehnis, serta didalam beberapa hal bersifat terbatas
dan tidak lengkap. Orang-orang mencari-cari
disana-sini, tentang apa yang kurang pada ilmu
pengetahuan; mereka mencarinya didalam tempat-tempat
yang tampaknya kurang tepat, yaitu pada astrology, pada alchemy,
dan pada black magic, tetapi juga mencarinya pada kesenian,
serta pada Religi-Religi yang sudah mantap, untuk
mencari yang bersifat transcendent, karena sesuatu
yang sifatnya tidak mengalami perubahan-perubahan itu
akan memberikan tempat yang damai bagi mereka. Namun
usaha-usaha penyelidikan mereka itu biasanya sia-sia
belaka.
Filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme telah menyatukan kasunyataan
“material” dan kasunyataan “spiritual” didalam
filsafat yang terpadu. Dengan melakukan hal yang demikian
itu, filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme dapat
melenyapkan sifat kekakuan yang menekan dari
kasunyataan materialnya ilmu pengetahuan, dan dapat
melenyapkan sifat spiritualnya dari semua sifat metaphysisnya
ilmu pengetahuan, dan membawanya kembali ke pengalaman
langsung, yang dihayati di dunia nyata ini, dan
sekarang ini.
Didalam Buddhisme, perkataan rohani (= spirit), apabila digunakan,
berarti pengalaman aktual yang bersifat total. Itu tidak pernah
berarti essensi, atau roh (= soul), atau suatu alam
ideal yang makhluk yang bersifat abadi (= immortal being). Apabila
perkataan “spiritual” dipakai pada Buddhisme, maka
itu yang dimaksudkan adalah pengalaman. Itu menunjukkan
bukan terhadap sesuatu pengalaman yang khusus, tetapi
kepada pengalaman total, dan terhadap pemahaman yang
langsung atas pengalaman total, melalui penghayatan
Penerangan Sempurna. Pengalaman yang sama, yang
menjadi basis ilmu pengetahuan, didalam keseluruhannya,
menjadi basis dari kebebasan.
Didalam Buddhisme aliran Mahayana, yang dinamai zat (= matter),
adalah pengalaman yang dikonseptualisasikan. Agar supaya
membentuk suatu model yang bersifat simbolis atau
konseptual, dari pengalaman, yaitu misalnya
pengalaman mengenai dunia, atau tubuh, atau otak,
tugas kita akan terasa enak, tidak sukar, apabila kita mau menganggap
pengalaman itu sebagai zat (= matter = stuff), Dunia
material itu sesungguhnya tidak berat, padat, atau
menekan. Itu hanyalah merupakan suatu model
konseptual dari pengalaman, yang juga ada didalam
pengalaman. Jadi, istilah rupa, yang dipergunakan
oleh Buddhisme aliran Theravada, itu berarti zat (= matter),
dan oleh aliran Mahayana, berarti bentuk (= form), atau
model konseptual.
Filsafat pengetahuannya Mahayana, tentang alam, itu terbagi
menjadi roh (= spirit) dan zat (= matter), dan
mentransformasikannya menjadi kekosongan (=
emptiness) dan bentuk (= form), yaitu menjadi
pengalaman total dan model-model konseptual. Dan itu
mentransformasikan pandangan yang religious dari dunia material,
yang muncul dari dan berada didalam dunia spiritual, menjadi
pandangan ilmiah tentang model-model konseptual,
yang muncul dari dan berada didalam pengalaman aktual
yang bersifat total.
Itu cukup bersifat revolusioner, tetapi filsafat ilmu pengetahuannya
Mahayana, memiliki keterangan lebih lanjut. Dengan
mengatakan bahwa pengalaman aktual yang bersifat
total, itu saja yang merupakan kasunyataan yang
hakiki, maka itu membuat tidak bersuaranya semua
metaphysika, baik yang ada didalam, maupun yang ada diluar,
dari ilmu pengetahuan. Itu memperkuat fakta bahwa
kasunyataan yang ilmiah itu tidak pernah lebih dari kasunyataan
yang relative, yang memiliki nilai yang besar, tetapi
diterangkan lebih lanjut, dan dikatakan bahwa suatu
kasunyataan, yang verbal, atau yang numerical, yang
sifatnya religious, dan philosophis, atau jenis
lainnya semacam itu, dapat juga tidak pernah meng-claim
untuk berkeadaan lebih besar nilainya dari pada kasunyataan
yang bersifat empiris dan relative. Itu menolak validitasnya
sesuatu kasunyataan yang absolut dan yang hakiki
lainnya, dengan pernyataan oleh sesuatu system
non-ilmiah dari fikiran, karena adalah tidak mungkin
ada sesuatu, yang berada diatas, disebelah sananya,
atau diluar pengalaman yang bersifat total.
Penolakan Pangeran Siddhartha terhadap Ke-Aku-an Hindu (= Hindu
Self) itu mungkin dapat diperluas sampai kepada Yang
Absolut dari sesuatu filsafat yang metaphysis, Dewa,
Surga, dan Neraka, saya fikir, oleh karena itu juga
“Diri saya”; semuanya adalah konsep-konsep, hanya
kata-kata, yang terdapat didalam pengalaman. Semua
kumpulan fikiran, – dari Agama-Agama, Filsafat-Filsafat,
dan Buddhisme itu sendiri semuanya adalah model-model konseptual,
dan semua terbuka bagi testing secara langsung,
terhadap pengalaman dengan sifat ketatnya dari
methode ilmiah. Bahkan apabila Surga dan Neraka itu
ternyata, setelah dibuktikan secara ilmiah, benar-benar
ada, itu tetap hanya merupakan bagian dari pengalaman total,
dan tidak akan dapat didalam cara apa pun, melebihi, atau
bersifat transcendent, diatas pengalaman total.
Nagarjuna, bahkan melangkah lebih lanjut lagi, – yaitu didalam
arah bersaing dengan yang absolut lainnya, didalam system
pemikiran lainnya. Beliau tidak menyampaikan
argumentasinya dari sudut pandangan ilmiahnya
sendiri, dan menyadari bahwa itu adalah hanya salah
satu dari banyak sudut pandangan ilmiah lainnya.
Nagarjuna mempergunakan methode dialectic, yaitu beliau menyampaikan
seperangkat uraian, untuk membuktikan ketidak-benaran
dari semua filsafat metaphysis, atas dasar istilahnya sendiri.
Inilah sebabnya mengapa tulisan-tulisan Nagarjuna
itu penuh dengan begitu banyak hal-hal yang sangat
cemerlang, tetapi dengan analisa philosophis yang
sangat sukar.
Dia membuktikan bahwa tidak ada religi atau philosophi yang
secara logis dapat mendukung pernyataannya sendiri, dengan
mengatakan bahwa pengetahuannya meliputi kasunyataan
yang absolut, dan dengan demikian memungkinkan
filsafat ilmu pengetahuannya meng-claim bahwa hanya
filsafat ilmu pengetahuannya sendiri yang merupakan
filsafat pengetahuan yang valid.
Kalau kita ringkaskan semua yang telah kita kemukakan diatas
itu, maka dapatlah kita jelaskan bahwa filsafat ilmu
pengetahuannya Buddhisme itu sungguh-sungguh bersifat
revolusioner, dengan alasan-alasan sebagai berikut
ini :
Ilmu-ilmu pengetahuan mengetahui bahwa kasunyataan yang ilmiah
adalah bersifat relative atau empiris, serta didasarkan
pada pengalaman yang aktual. Buddhisme juga menerima
kasunyataan empiris, dan mendapati bahwa itu terdapat
pada sunyata. Saya percaya bahwa Sunyata
itu menunjuk kepada pengalaman yang aktual, dan
dengan demikian Buddhisme juga berkata bahwa
kasunyataan yang empiris itu haruslah terdapat pada pengalaman
yang aktual.
Saya percaya bahwa filsafat ilmu pengetahuannya Buddhisme itu
bersifat revolusioner, karena tidak didasarkan kepada
pengalaman keindiriaan, tetapi didasarkan kepada
pengalaman total; dan karena Buddhisme mengatakan
bahwa hanya pengalaman aktual yang total saja yang
merupakan kasunyataan yang hakiki, atau yang paling
tinggi. Ini mencegahnya untuk tidak mengalamai pecahnya
menjadi ilmu pengetahuan yang sifatnya “material”,
yang berat, dan prosaic, serta religi, philosophi, dan seni,
yang sifatnya “spiritual”, liberal, dan transcendent.
Itu mencakup yang bersifat “material”, dan yang bersifat
“spiritual”, technology dan liberal, yang keduanya
terdapat pada satu filsafat ilmu pengetahuan. Lagi pula, itu
secara khusus menolak kasunyataan yang religious,
dan metaphysis, dan mengemukakan claimnya bahwa hanya
filsafat ilmu pengetahuan (= philosophy of science)
saja, satu-satunya yang valid, dari filsafat
pengetahuan (= philosophy of knowledge) yang ada.
Kalau Dunia Barat itu sangat hebat didalam hal systematisasinya
dan applikasinya kasunyataan empiris, maka Dunia Timur,
memiliki, pada Buddhisme, suatu filsafat ilmu
pengetahuan yang lebih tua dan lebih maju dari pada
yang dimiliki Dunia Barat. Seluruh sejarah ilmu
pengetahuan itu perlu ditulis ulang kembali. Pangeran
Siddhartha, yang kemudian menjadi Buddha, itu adalah merupakan
filsuf bidang filsafat ilmu pengetahuan, yang pertama, yang
memberikan kepada Dunia Timur, tradisi ilmiah setua
seperti yang dimiliki oleh Dunia Barat, dan sumbangan
utamanya kepada Dunia Filsafat, adalah berupa
meletakkan dan membuat filsafat ilmu pengetahuan
bersifat universal dan revolusioner.
REFERENSI:
1. T.R.V. Murti | “The Central Philosophy of Buddhisme” (= Filsafat Central-nya Buddhism), Penerbitan: George Allen and Unwin, London, 1960, yang terhadap mana, artikel ini banyak menggambil bahan |
2. Madhyamika Karika, Bab. 13.8 |
Diterjemahkan dari “Early Madhyamika in India and China” (= Madhyamika pada masa-masa awal di India dan China), oleh Richard H. Robinson |
3. Samyutta-Nikaya II Bab : XX.7 |
Pali Text Society (= Perhimpunan Studi Naskah-Naskah berbahasa Pali) |
4. Madhyamakavatara Bab. VI |
|
5. M.K. Bab. 13.7 | Lihat catatan diatas. |
Posting ini telah dilihat sebanyak :973
Tidak ada komentar:
Posting Komentar